(HATI PADA BAGIAN LAINNYA)
Aku
salah. Aku hina-dina. Aku keji. Aku kurang aja Aku tak tahu diri. Aku tak
tahu diuntung. Aku terpedaya setan. Aku durhaka. Aku durjana. Aku marah. Aku
benci. Aku benci. Aku benci. Aku benci dengan diriku sendiri dan anak yang
kulahirkan. Aku menyesal. Aku masih ingin sekolah. Orang tuaku mengusirku. Aku
benci jabang bayi terkutuk ini. Aku malu. Aku berlumur dosa.
Aku
sangat benci akan cerita kelam ini. Namun aku ingin membaginya kepada para
wanita yang ada di dunia ini agar tak merasa sakit yang kurasa. mSemua ini berawal
saat aku masih duduk di bangku SMA. Kala itu aku merupakan salah seorang siswa
baru di salah satu SMA favorit di kota tempat tinggalku.
Banyak yang bilang bahwa wajahku ini cantik rupawan. Kakak-kakak kelas banyak yang ingin mendekatiku. Aku yang masih polos dan lugu ini menarik hati mereka. Semasa di SMP, aku memang tak pernah sekalipun mencoba kegiatan ekstrakurikuler ilegal yang namanya “pacaran”. Jadi aku tak mengerti apapun tentang pacaran dan kegiatan didalamnya.
Banyak yang bilang bahwa wajahku ini cantik rupawan. Kakak-kakak kelas banyak yang ingin mendekatiku. Aku yang masih polos dan lugu ini menarik hati mereka. Semasa di SMP, aku memang tak pernah sekalipun mencoba kegiatan ekstrakurikuler ilegal yang namanya “pacaran”. Jadi aku tak mengerti apapun tentang pacaran dan kegiatan didalamnya.
Hidupku
terasa ringan tanpa beban. Prestasi belajarku di semester satu ini juga cukup
baik. Orang tuaku membanggakanku dan semakin memanjakanku karena aku anak
semata wayang mereka. Aku diberikan kepercayaan yang utuh. Ayah yang seorang
manager di salah satu perusahaan sawit ternama selalu sibuk dan beliau tinggal
di tengah hutan sawit yang jauh dari kota. Mama yang hanya seorang ibu rumah
tangga harus bolah balik dari sawit ke kota untuk mengurusiku dan Ayah secara
bergantian. Aku sering ditinggal di rumah seorang diri. Kadang Mama menjengukku
sebulan sekali atau dua kali saja.
Kehidupanku
bebas merdeka. Salah seorang sahabat baruku memberikan informasi bahwa ada
kakak kelasku yang suka padaku. Ia berusaha menjadi mak comblang di antara aku
dan Kak Sam. Jujur saja, aku tak tertarik sama sekali dengan dia. Tapi, Kak Sam
melancarkan aksinya dengan sok-sok romantis gitu di depanku. Memberi aku
perhatian lebih. Di sekolah dia sering memberiku coklat mahal dan aku tak kuasa
menolak setiap pemberiannya.
Beberapa
bulan kemudian, Kak Sam menyatakan perasaannya kepadaku. Aku tak tahu harus
memberikan jawaban apa. Kugantung dia selama kurang lebih dua minggu. Bisa
dibilang hubungan kami saat itu adalah hubungan tanpa status. Aku masih
bimbang, akan menerimanya atau menolaknya. Pada akhirnya aku memutuskan untuk menerima
Kak Sam menjadi pacar pertamaku meskipun hanya setengah hati. Kata ‘sayang’
hanya di bibir saja. Namun demikian, aku berpacaran dengannya cukup lama.
Setelah bersama selama enam bulan, tak kupungkiri rasa sayang itu mulai tumbuh
subur. Kian kemari hidupku kian tak menentu. Bebas. Lepas. Mama juga sudah
jarang pulang untuk menemuiku. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepatnya. Kini
aku telah naik ke kelas sebelas. Prestasiku masih tetap bagus. Pacaran juga
jalan terus. Kak Sam masih seperti yang dulu, romantis, baik, pengertian,
sayang padaku, sangat memanjakanku. Aku merasa istimewa karena perlakuannya.
Sudah setahunan lebih kami menjalin hubungan. Hubungan yang baik dan sehat. Ia
sering main ke rumahku bersama teman-temannya. Bermain gitar dan bernyanyi
bersama, nonton film horor, makan-makan, ngerujak, dan banyak hal yang
seru-seru kami lakukan. Seperti yang telah kusebutkan tadi, waktu berlalu
dengan sangat cepat. Kak Sam lulus dan aku pun naik kelas menjadi kelas dua
belas.
Ia
berkuliah di luar kota. Kami hanya bertemu beberapa bulan sekali karena saat
dia libur baru dia pulang. Kami juga sering bertengkar karena hal-hal sepele.
Aku tak punya banyak waktu untuk mengurusinya terus. Aku sudah kelas dua belas,
aku harus konsen ke pelajaran. Suasana hubungan kami agak goyah dan tak
sehangat dulu. Setiap hari ada saja pertengkaran yang terjadi, baik melalui sms maupun telepon. Suatu ketika, ia
pulang dan menemuiku. Dia mengajakku jalan-jalan hingga larut malam. Ia
mengajakku ke kos-kosan temannya, katanya sih ada yang mau diambil. Awalnya aku
menolak, tapi apa daya, aku tak kuasa. Ia menyuruhku turun dipinggir jalan yang
sangat sepi, aku takut dan akhirnya aku mengikuti keinginannya. Sesampainya di
sana, aku hanya diam. Aku takut sekali. Tak ada seorang pun di kos-kosan itu.Ia
berkata padaku, “buktikan kalau kamu sayang dan ingin setia padaku”. Dia seolah
menghipnotisku. Apapun yang ia perintahkan, aku menurut saja tanpa ada
perlawanan sedikitpun. Aku lupa segalanya, aku tak tahu lagi apa yang terjadi
saat itu. Aku seperti mayat hidup. Hingga pagi menjelang dengan sisa-sisa
kekelaman semalam. Aku terbangun dan melihat binatang itu di sebelahku.
Tampaknya ia tidur pulas sekali. Jika setan menguasaiku kala itu, bisa saja Ia
kucincang-cincang lalu kubuang ke sungai agar buaya bisa menikmatinya dan
berpesta pora. Untung saja aku masih waras dan selamatlah kau. Aku bergegas
pergi meninggalkannya. Aku pulang dengan angkot. Aku malu dan merasa kotor.
Terutama dihadapan Tuhanku. Aku telah melakukan kenistaan yang mengatas namakan
rasa sayang. Aku ganar sekali. Pikiranku tak menentu.
Hari
ini tepat dua minggu setelah kejadian terkutuk itu, hari pertama aku masuk
sekolah setelah hampir satu minggu aku dirawat di rumah sakit karena penyakit
maggku yang hampir kronis. Aku hanya mampu menatap nanar teman-temanku yang
tertawa ,terkekeh saat ada teman lainnya membuat lelucon. Sementara aku
meratapi nasibku yang begitu buruk. Mengapa aku sebodoh ini. Mengapa aku
melakukan hal itu. Mengapa aku kurang kendali. Aku takut ada makhluk lain dalam
tubuhku.
Benar
saja, ketakutanku terjawab. Sudah hampir dua bulan aku belum “dapet” dan
merasakan ada gejolak-gejolak dalam
perutku seperti mual-mual dan ingin makan banyak. Badanku membengkak terutama
di bagian pinggul ke bawah. Aku bingung. Aku coba loncat-loncat setiap hari,
makan nanas, minum ramuan-ramuan dari dukun beranak yang katanya berkhasiat
untuk menggugurkan janin, lalu memberanikan diri menemui dokter kandungan yang
membuka praktek aborsi ilegal dan meminum segala macam obat yang diberikannya,
namun hasilnya nol besar alias nihil. Aku marah besar terhadap diriku sendiri
dan janin ini. Aku coba mencari dia yang sudah menanamkan saham di rahimku ini.
Ayah dan Mama yang mengetahui hal ini sangat marah. Mama sampai masuk rumah
sakit karena serangan jantung. Ayah kalap dan mendatangi keluarga lelaki tak
bertanggung jawab itu dengan dikuasai amarah dan membawa golok. Sementara aku
di rumah sakit hanya bisa menangis terus-menerus.
Seminggu
setelah kejadian hari itu, acara pernikahan kami digelar dengan sangat
sederhana. Aku hanya memakai gamis putih punya Mama dengan perut yang mulai
menonjol sementara Sam memakai kemeja putihnya. Tak pernah kubayangkan
sebelumnya akan menikah dalam keadaan seburuk ini, tanpa ada tamu undangan dan
gaun yang indah juga tanpa foto-foto bahagia. Aku stress berat.
Usai
acara pernikahan, aku pindah ke kota lain. Disana aku menjalani hari-hariku
bersama seorang pembantu untuk menemani dan merawatku. Setelah mendiami perutku
selama Sembilan bulanan, lahirlah anak itu ke dunia. Aku berharap dia mati saja
agar tak merepotkanku, tapi Tuhan berkehendak lain. Dia lahir abnormal.
Kepalanya agak lebih besar dari badannya, matanya ada kerusakan dan
keabnormalan lainnya. Aku semakin benci dan jijik melihatnya. Ingin ku cekik
saja lehernya sampai tewas. Jika melihatnya, aku akan teringat kejadian kelam
itu lagi. Aku tak sanggup menerima kehadiran makhluk kecil itu. Namun, aku tak
mampu melakukannya, aku masih ingat Tuhan. Betapa kejinya diriku ini jika
membunuhnya. Aku sudah sangat jahat padanya sejak ia berada di rahimku. Aku
akan tetap membesarkannya meskipun dalam kebencian.
Tak
bisa kupungkiri, selayaknya seorang Ibu, aku ingin sekali memeluknya,
menciumnya, menggendongnya, memanjakannya, bermain dengannya, namun egoku
menghalangi segalanya. Mengapa aku begitu membencimu? Apa salahmu? Kasihan
kamu,Nak … Aku senang melihatnya tidur. Hampir tiap malam aku mendatangi
kamarnya ketika ia tengah tertidur pulas lalu mencium keningnya. Memandangi wajah polos tak berdosa itu.
Suatu
ketika ia bertanya tentang arti kata “Ayah”. Aku terhenyak mendengarnya. Aku
tak tahu harus menjawab apa. Aku sudah mengubur dalam-dalam kenanganku yang
kelam itu dengan mencoba mencari kesibukan di luar sana. Akan lebih baik jika
ia tak pernah bertemu Ayahnya yang tak bertanggung jawab.
Setiap
malam aku menangis, namun bukan menangisi masa lalu itu lagi. Aku sedih melihat
nasib anakku itu, terlahir tanpa pernah melihat Ayahnya, menderita dengan cacat
fisiknya, sengsara karena Ibunya tak memperhatikan dirinya. Jujur saja, sepuluh
tahun yang lalu aku benar-benar belum siap menjadi seorang Ibu diumurku yang
baru genap delapan belas tahun. Aku masih ingin bebas, ingin ketawa-ketiwi
petentang-petenteng kesana-kemari layaknya kebanyakan remaja di luar sana. Tapi
inilah takdir burukku. Ini Pengalaman pahitku.
Di
ulang tahunnya yang ke sepuluh. Sepulang bekerja, aku bergegas ke toko buku untuk
membeli krayon, buku gambar dan pensil sebagai hadiah untuknya. Aku ingin ia
mengekspresikan perasaannya melalui gambar maupun tulisan. Saat kuberikan
hadiah itu, rona-rona bahagia terbit dari wajahnya. Anakku sayang, anakku
malang. Suatu saat kau pasti bahagia. Mama belum mampu memberikan kebahagiaan
yang hakiki padamu, Anakku. Maafkan Mama yang tak bertanggung jawab padamu yang
merupakan titipan Tuhan pada Mama.
Mama
sangat mengkhawatirkan keadaanmu ketika kau terbaring lemah di atas ranjang
rumah sakit. Badanmu ditusuki jarum, pasti sakit sekali. Belum lagi
selang-selang yang malang-melintang di tubuhmu, ada yang dimasukkan
perawat-perawat itu ke hidungmu, ada juga yang di tempel di kepalamu dan di
dadamu. Aku tak kuasa melihat penderitaanmu yang seolah tiada habisnya. Aku
menyesal. Aku resah memikirkan nasibmu, Nak.
Radang
otak membuatmu terbaring tak berdaya di bangunan serba putih ini. Anakku koma.
Aku berdoa terus-menerus dan menangisi kesalahanku. Tuhan tahu yang terbaik
buat anakku. Anakku telah tiada. Ia sudah tenang sekarang. Pasti ia lebih
bahagia di surga. Tapi aku merasa diselubung dosa besar. Aku meraung-raung saat
mengetahui anakku telah tiada. Aku tidak terima dengan semua ini. Aku tak
mempercayai ini.
Anakku
belum meninggal. Aku yakin benar ia masih hidup. Aku masih bisa memeluknya. Aku
masih bisa menciumnya. Aku janji akan membahagiakannya. Tidak seperti sepuluh
tahun yang lalu. Nak, ini Ibumu. Ibu janji padamu akan membuatmu bahagia.
Kemana-mana
aku selalu bersama anakku. Saat aku sedang bekerja, sampai malam pun sama dia. Setiap
hari jumat, anakku selalu minta bunga melati. Di depan rumah juga kutanami
bunga melati agar anakku senang. Di tempat tidurnya juga selalu kutaburkan
melati segar setiap harinya. Anak perempuanku sayang, kini rambutmu sudah
panjang dan Mama ingin sekali mengepangnya.
Setiap
hari aku merindukan anakku. Aku memperhatikannya dan merawatnya. Aku
memandikannya agar dia selalu cantik. Tak lupa pula bunga melati yang kurangkai
dan kuletakkan di kepalanya. Cantik. Aku juga sering meninabobokkan anakku
ketika ia hendak tidur. Kadang-kadang aku tertidur di sampingnya. Yang penting,
apapun yang terjadi, aku ingin selalu bersama anakku. Sambil mengelus-elus
kepalanya, aku menyanyikan lagu ninabobo. Hingga akhirnya aku diserang rasa
kantuk yang hebat dan tertidur pulas.
Matahari
beranjak naik, teriknya membangunkanku yang tengah terbaring di samping anakku.
Pagi ini aku tak masuk kerja lagi karena aku telah diberhentikan. Bosku mengira
aku terkena gangguan kejiwaan, padahal aku merasa baik-baik saja.
Aku
mengelus-elus kepala anakku sebelum masuk ke rumah. Melati segar di pagi hari
untuk anakku tercinta. Sekarang ia pasti bahagia karena aku telah berubah
menjadi Ibu yang baik dan perhatian kepada anaknya. Itu kulakukan demi membalas
ketidakadilan yang dulu kerap aku lakukan padanya.
Sayang,
Mama akan selalu ada untukmu. Jangan khawatir dan jangan pernah bersedih lagi,
Nak.
Ku
genggam erat pakaian anakku serta gambar yang pernah ia buat. Gambar seorang
anak di antara Ayah dan Mamanya. Aku tak mengerti bagaimana anakku bisa tahu
tentang arti pentingnya kehadiran seorang Ayah di tengah-tengah keluarga. Aku
akan membawakan seorang Ayah kehadapan anakku.
Setiap
hari, aku hanya duduk di samping anakku. Saat makan, tidur, menjahit dan
sebagainya bersama anakku. Kami bercanda ria, tertawa-tawa. Kini aku merasa
sangat dekat dengannya. Tetanggaku yang iri dan dengki dengan kedekatan antara
aku dan anakku ini sering meneriaki aku “Gila ! Orang stress ! Sinting”, kadang
juga mereka mencoba memisahkan aku dengan anakku secara paksa dengan
mendatangkan orang dari rumah sakit jiwa. Dasar tetangga gila, gak suka melihat
orang lain senang. Yang gila itu kamu, bukan aku !
Add your comment