Menyaksikan
upacara keagamaan yang diadakan setahun sekali menjadi euphoria tersendiri bagi sebagian orang. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, prosesi tahunan Hari Raya Tri Suci Waisak 2557 Buddha Era (BE) 2013
digelar di kawasan kompleks Candi Mendut- Borobudur. Acara yang dihelat pada
tanggal 24-25 Mei ini bertema “Dengan Semangat Waisak Kita Tingkatkan Kesadaran
untuk Terus Berbuat Kebajikan”. Prosesi Tri Suci Waisak merupakan peringatan rangkaian
tiga peristiwa penting dalam agama Buddha yaitu kelahiran Sidharta, pencapaian
kesempurnaan Buddha Sidharta dan wafatnya Sang Buddha Gautama. Perayaan Tri
Suci Waisak tidak hanya diramaikan oleh umat Buddhis yang datang dari berbagai
daerah ke candi Mendut dan Borobudur.
Di
negara yang sebagian besar masyarakatnya adalah penganut Buddha prosesi upacara
Waisak dilaksanakan dengan sakral, hening, dan penuh hormat, berbeda 180
derajat dengan Waisak di Mendut-Borobudur. Perayaan waisak di Mendut-Borobudur
lebih mirip seperti sebuah atraksi budaya di tempat wisata, atau hiburan
rakyat. Masyarakat setempat bahkan turis domestik dan mancanegara memenuhi
kawasan tersebut, untuk memperhatikan prosesi perayaan atau sekedar
mengabadikan momen yang dihelat sekali setahun ini. Ada pasar seni yang buka
hingga malam. Manusia berjubel-jubel di sekeliling kawasan candi hingga altar,
menciptakan kebisingan yang sangat mengganggu jalannya pujabakti siang itu.
Sepintas, tampak seperti pasar sekaten di Jogja dan bukan ritual religi.
Prosesi yang idealnya sakral dan hening karena ada prosesi meditasi dan
pembacaan sutra, berubah menjadi keramaian dengan berbagai kepentingan.
Di
negeri ini, perayaan ritual agama yang pengikutnya tidak mendominasi, selalu
menjadi daya pikat utama bagi wisatawan dan para maniak fotografi. Lebih lagi,
Candi Borobudur sudah ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage, sama
tersohornya dengan Ayutthaya dan Angkor Watt. Lepas dari itu semua, harus
diakui, kini prosesi Waisak di Candi Mendut-Borobudur menjelma menjadi sebuah
atraksi budaya yang bernilai estetis dan rekreasi. Nilai magis atau kesakralan
prosesi telah berbaur dengan komersialisasi wisata. Para penikmat ritual, baik
itu wisatawan, para hobi foto maupun wartawan berebut tempat dan
berdesak-desakan demi mendapatkan momen terbaik untuk foto yang mereka inginkan.
Mereka seolah tak perduli dengan ritual apa yang sedang dijalankan, apakah itu
pujabakti, pembacaan sutra, atau meditasi. Para banthe yang sedang khusyuk
berdoa dan membaca sutra, bahkan umat Buddha yang sedang sembahyang dikerubungi
para maniak fotografi. Tak ubahnya seperti pertunjukan tari-tarian atau kuda
lumping.
Bayangkan
saja ketika anda sedang Shalat Ied (Fitri maupun Adha) atau merayakan Misa
Natal yang agung dan suci, lalu ada orang-orang yang lalu-lalang di sela-sela shaf
shalat atau bangku gereja anda. Orang-orang itu sibuk hilir-mudik memotret atau
sekedar menonton ritual anda. Apa yang akan anda rasakan? Pastilah jamaah akan
merasakan risih dan terganggu, mungkin juga emosi. Itulah sebabnya para
fotografer Shalat dan Misa jauh sebelumnya sudah mengatur posisi terbaik mereka
agar tidak mengganggu kekhusyukan ibadah jamaah. Namun, hal ini tidak
dilaksanakan pada perayaan ritual Waisak kali ini. Teguran demi teguran yang
diutarakan MC (master of ceremony) kepada para fotografer, wisatawan ataupun wartawan untuk
memberikan ruang kepada umat Buddha yang hendak berdoa di altar, terkesan
diabaikan. Jadilah para umat Buddha berdoa diantara kaki-kaki para fotografer, wisatawan
maupun wartawan tersebut.
Alfisyahr Izzati
Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Unnes'12
Teori strukturalisme pada intinya berpendapat bahwa dalam
segala keanekaragaman budaya tentu ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya
universal, sama dimanapun dan kapanpun. Claude Levi-Strauss
sendiri dikenal sebagai Bapak Strukturalisme, karena memang beliaulah yang pertama kali menjelaskannya secara lebih rinci dan
detail.
A. Biografi
dan Karya Lévi-Strauss
Claude Lévi-Strauss adalah seorang antropolog sosial Perancis
dan filsuf strukturalis. Ia
lahir di Brussels, Belgia, pada 28 Nopember 1908 sebagai seorang keturuan
Yahudi. Namun pada tahun 1909 orang tuanya pindah ke Paris, Perancis. Ayahnya
bernama Raymond Lévi-Strauss dan ibunya bernama Emma Levy. Sejak kecil
Lévi-Strauss sudah mulai bersentuhan dengan dunia seni, yang kelak akan banyak
ditekuninya ketika dewasa, karena memang ayahnya adalah seorang pelukis.
Sesungguhnya
pendidikan formal dan minat Lévi-Strauss pada awalnya bukanlah Antropologi.
Pada tahun 1927, Lévi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang
sama itu pula, ia pun mempelajari filsafat di Universitas Sorbonne. Studi hukum
diselesaikannya hanya dalam waktu satu tahun. Sedangkan dari studi filsafat,
aliran materialisme menjadi aliran yang banyak mempengaruhi pemikirannya. Salah
satu argument materialisme adalah segala sesuatu harus bisa diukur, diverifikasi,
dan diindera. Namun pada suatu saat Levi-Strauss mengungkapkan kebosanannya
dalam mengajar. Kemudian setelah membaca buku Primitive Social karya
Robert Lowie, seorang ahli antropologi. Bermula dari membaca buku Robert Lowie
itulah ketertarikannya akan dunia antropologi muncul. Akhirnya, Levi-Strauss
semakin jelas berpaling kepada Antropologi ketika mengajar di Sao Paulo,
Brazil, dan melakukan studi antropologi yang lebih luas di pusat Brazil. Selama
mengajar di Brazil itulah ia mulai banyak melakukan ekspedisi di daerah-daerah
pedalaman Brazil. Heddy Shri dalam bukunya menyebutkan, ekspedisi pertamanya
adalah ke daerah Mato Grosso. Dari ekspedisi itu Levi-Strauss merasa
mendapatkan pengalaman batin yang menginspirasikan banyak hal, yang tertuang
dalam bukunya Trites Tropique. Itulah karya pertamanya dan
sekaligus mengukuhkan dirinya masuk kedalam bidang antropologi.
Dalam prosesnya melakukan penelitian dan pengamatan banyak
terbentur hambatan. Hal ini salah satunya tidak lepas dari karena ia termasuk
keturunan Yahudi, yang saat itu dalam pergolakan pembantaian oleh Jerman.
Sampai ia akhirnya harus mengalami pemecatan. Pada tahun 1947, ia kembali ke
Perancis dan pada tahun berikutnya ia diangkat sebagai maitre de recherché selama
beberapa bulan di CNRS (Center National de la Recherche Scintifique/Pusat
Penelitian Ilmiah Nasional). Pada tahun yang sama, ia menyelesaikan studi
doktoralnya di Universitas Sorbonne, dengan disertasi Les Structures elementaires de la parente. Levi-Strauss dianggap
sebagai pendiri strukturalisme, sebuah paham yang memegang bahwa kode
terstruktur adalah sumber makna dan bahwa unsur-unsur struktur yang harus
dipahami melalui hubungan timbal balik mereka. Lebih lanjut, bahwa struktur sosial adalahkebebasan dari kesadaran manusia dan ditemukan dalam mitos dan ritual. Secara singkat,
itulah inti dari teori strukturalisme menurut pendapat Levi-Strauss.
Levi-Strauss
banyak menghasilkan karya-karya tulis besar yang sangat menarik banyak
perhatian banyak kalangan, baik dari intelektual maupun awam. Karya-karya
terbesar tersebut antara lain: The Elementary Structures of Kinship (1949), Structural
Anthropology (1958),The Savage Mind (1962), and the Mythologics,
4 vols. (1964–72). Mythologics sendiri terdiri dari tetralogi The
Raw and The Cooked, From Honey to Ashes, The Origin of Table Manners, dan The
Naked Man.
Dalam
tahun 1968 ia dianugerahi medali emas untuk jasanya memajukan ilmu-ilmu sosial
di Perancis dari CNRS (Centre Nationale
de la Recherche Scientifique), dan dalam tahun 1976 ia menerima hadiah Bintang
Viking untung ilmu antropologi.
B. Metode Segitiga Kuliner
Levi-Strauss
menaruh perhatian besar terhadap makanan dan rupa-rupanya karena makanan adalah
kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusiaMemasak makanan merupakan
bentuk budaya yang sangat penting, karena ia memasak merupakan transisi dari
alam (nature) ke budaya (culture).
Menurut Edmund Leach (1985: 34), memasak merupakan cara yang universal untuk
mentransformasikan alam ke dalam budaya. Penelitian ini diarahkan untuk
menelusuri bagaimana pandangan struktural Levi-Strauss dapat diterapkan untuk
melihat sistem makanan (food system),
karena pendekatan struktural memandang semua fenomena kultural sebagai suatu sistem.
Manusia berbeda
dengan binatang dalam mengkonsumsi makanannya. Apabila binatang langsung
memakan makanannya yang berasal dari alam secara mentah, manusia secara
universal memproses terlebih dahulu makanan yang akan disantapnya. Walaupun
demikian ada juga manusia yang menyukai makanan mentah, tanpa dimasak terlebih
dahulu. Berbagai jenis makanan yang disantap manusia tidak semata-mata
bertujuan untuk membuat kenyang dan menghasilkan energi, namun terdapat
jenis-jenis makanan dimasak dan dihidangkan dengan tujuan tertentu. Makanan
dapat diberi makna sosial, keagamaan, dan pada pokoknya makanan tersebut
mempunyai arti simbolik.
Makanan manusia
terdiri dari 3 jenis, yaitu (a) makanan mentah, (b) makanan melalui proses
pemasakan, dan (c) makanan melalui proses fermentasi. Makanan mentah adalah
makanan yang bebas dari segalam macam proses (non-elabore).
Berdasarkan akal
dan keperluannya sejumlah makanan manusia ada yang bebas dari penggarapan
tangan manusia, artinya “bebas dari proses”, dan yang lainnya ada yang harus
“kena proses” penggarapan tangan manusia. Levi-Strauss selanjutnya menyatakan
bahwa dalam golongan makanan yang “kena proses” dibagi dua lagi, yaitu makanan
yang dimasak dan makanan yang terkena proses fermentasi. Kedua jenis makanan
tersebut berasal dari “suasana” yang berbeda, makanan yang dimasak artinya
terkena kebudayaan manusia, sedangkan makanan fermentasi adalah makanan yang
terjadi karena proses alami.
Manusia
kemudian mencoba menghubungkan antara makanan yang telah terkena tindakan
kebudayaan dan makanan yang dapat dikonsumsi karena proses pematangan alam
(fermentasi). Maka kemudian manusia mendapatkan golongan makanan mentah yang
terletak di antara dua ekstrim, yaitu bahwa makanan itu mentah karena tidak ada
campur tangan manusia, namun dapat juga digolongkan yang terkena tindakan
kebudayaan karena sumber makanan tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan yang
ditanam dan dari hewan yang dipelihara manusia. Dengan demikian seiring dengan
kemajuan kebudayaan manusia, terdapat konsep “segitiga kuliner” dalam
menghasilkan makanan yang dikonsumsinya.
C. Analisa Sistem Kekerabatan
Levi-Strauss dalam masa karir akademisnya ia
menjadi seorang ahli filsafat, terutamaahli
filsafat yang berfikir tentang masalah asas-asas cara berfikir simbolik darimanusia
sebagai makhluk kolektif yang berinteraksi dalam masyarakat. Levi-Straussmenganggap ilmu antropologi sebagai ilmu yang
dapat memberikan data etnografis mengenai masyarakat primitif, yang dianggapnya
perlu untuk mengembangkangagasan-gagasan dan konsep filsafatnya. Masyarakat
bersahaja dianggap sebagai contoh dari masyarakat elementer, dan manusia
yang kehidupan didalamnya tentu juga berpikir secara elementer, atau
dengan istilahnya berpikir secara bersahaja.
Masyarakat bersahaja biasanya didominasi oleh
system kekerabatan, dan warga-warganya berinteraksi didalamnya berdasarkan
system simbolik yang menentukan sikap mereka terhadap paling sedikit tiga kelas
kerabat, yaitu kerabat karena hubngan darah, karena hubungan kawin, dan karena
hubungan keturunan. Dalam usahanya
menganalisa segala macam system kekerabatan, seperti juga Brown,
Levi-strauss, berpangkal kepada keluarga inti. Ketiga macam hubungan dalam rangka keluarga inti
adalah:(1.) hubugan antara seorang individu E dengan
saudara-saudara sekandungnya yang berup hubungan darah. (2) hubungan antara E
dengan istrinya berupa hubungan karena kawin, yang menghubungkan kelompok
saudara sekandungnya dengan saudara sekandung istrinya. (3.) hubungan yang lain
yaitu hubungan antara E dan istrinya dengan anak-anak mereka, yang merupakan
hubungan keturunan. Dalam kenyataan, kehidupan kekerabatan yang oleh
Levi-Strauss dianggap hubugan positif adalah hubungan berdasarkan sikap
bersahabat, mesra, dan cinta- mencintai,sedangkan apa yang dianggapnya hubungan
negatif adalah hubungan berdasarkan sikap
sungkan, resmi, dan menghormati. Kedua hipotesis tadi secara logikamemungkinkan
enam kombinasi yang olehnya di ilustrasikan dengan data dari enam suku bangsa, yaitu suku bangsa Trobrian yang telah
dideskripsi oleh Malinowski, bangsa-bangsa Siuai di Kepulauan Solomon,
Melanesia, suku bangsa Dobu di kepulauan dekat Trobrian, suku-suku
bangsa Kobutu di Papua Nugini, suku bangsacherkess, suku bangsa Tonga di
Polynesia. Kalau kita teliti data etnografi
Levi-Strauss lebih mendalam, maka tampak subyektifnya ia meniai
suatu hubungan kekerabatan itu sebagai positif atau negative,dan tampak pula
bahwa tidak jarang ia membawa ukuran kebudayaan sendiri, yaitu kebudayaan
perancis, untuk membuat penilaian tadi. Kecuali itu, dari data keenam suku bangsa itu menurut metodologi penelitian
Levi-stauss sebenarnya belum membuktikan kebenaran dari kedua
hipotesanya itu, karena ia hanya memilih enam contoh saja untuk
mengilustrasikan tiap kemungkinan kombinasi sikap antara kaumkerabat inti yang
mungkin ada.
D. Azas Klasifikasi
Elementer
Mengenai azas klasifikasi elementer, Levi-Strauss mengatakan bahwa untuk
mengetahui kategori-kategori yang secara elementer dipergunakan akal manusia
dalam mengklasifikasikan seluruh alam semesta beserta segala isinya, maka dapat
dipelajari dari studi tentang totemisme. Menurutnya, arti kata totem (yang
secara lengkap berbunyi ototeman dalam bahasa Ojibwa) adalah “dia adalah
kerabat pria saya”. Memang hampir secara universal manusia dalam akal
pikirannya merasakan dirinya sebagai kerabat atau berhubungan dengan hal-hal
tertentu dalam alam semesta sekelilingnya, atau dengan manusia-manusia tertentu
dalam lingkungan sosial-budayanya, sehingga manusia ber-ototeman dengan hal-hal
itu. Dalam hubungan itu, manusia mengklasifikasikan lingkungan alam serta
sosial budayanya ke dalam kategori-kategori yang elementer. Suatu
hal yang paling pokok dalam pandangan ini adalah membagi alam semesta ke dalam
dua golongan berdasarkan ciri-ciri yang saling kontras bertentangan, atau
merupakan kebalikannya, yaitu suatu cara yang disebut binary opposition (oposisi berpasangan). Dua golongan
ini bersifat mutlak (mis: bumi-langit, pria-wanita), bisa pula bersifat relatif
(mis: kiri-kanan, orang dalam-orang luar). Pada oposisi tipe pertama tiap pihak
dalam pasangan saling menempati kedudukan yang tetap dan mutlak. Sedangkan pada
oposisi tipe relatif, satu pihak dalam pasangan menempati kedudukan tertentu
terhadap pihak lawannya, tetapi bisa juga menempati kedudukan lawannya itu
terhadap pihak ketiga. Tipe klasifikasi ke dalam dua golongan beroposisi ini
secara universal ada dalam hampir semua kebudayaan di dunia.
Konsep elementer dua
golongan yang relative telah menimbulkan konsep akan adanya golongan ketiga
yang bisa menempati kedua kedudukan dalam kedua pihak dari suatu pasangan binary.
Pihak ketiga itu dalam cara berpikir bersahaja dianggap merupakan suatu
golongan antara yang memiliki ciri-ciri dari kedua belah pihak, namun tidak
tercampur, melainkan saling terpisah dalam keadaan yang berlainan. Contoh dari
gagasan rangkaian tiga adalah misalnya; manusia/roh halus/dewa, kerabat
darah/kerabat karena nikah/bukan kerabat, hidup/maut/kehidupan akhirat,
bumi/gunung/langit, dsb.
Sumber :
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Paz, Octavio. 1997. Levi-Strauss : Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LkiS
| Suasana Pagi jam 08.00 di sepanjang Gapura Pecinan dan Jalan Gang Warung |
| Deretan ruko di Jalan Gang Warung yang masih tutup |
![]() |
| Seorang pria tengah berdoa sebelum berkegiatan |
| Kegiatan ekonomi di sepanjang jalan Gang Warung (distribusi barang dan jasa) |
| Pengamen yang beroperasi di sepanjang jalan Gang Baru |
| Transaksi antara penjual dan pembeli |
| Pedagang ikan segar di dalam Pasar Gang Baru |
| Pedagang hasil laut yang dikeringkan |
| Pedagang Tahu di Pasar Gang Baru |
| Potret Pasar Tradisional di Pasar Gang Baru |

![]() |
| Kebiasaan membaca di pasar |
| Pedagang Cabai dan Bawang di salah satu sisi Pasar Gang Baru |
Permukiman
“pecinan” dipastikan bisa ditemukan pada
setiap kota-kota di Indonesia. Bahkan, pecinan kerap kali terlihat seperti
sebuah kota dalam kota. Edmund Scott
pemimpin loji Inggris di Banten pada tahun 1603-1604, melukiskan kesannya pada
daerah Pecinan di Jawa (Lombard, 1996, jilid 2:275 dalam Handinoto, 1999):
“Sejak tiba di pelabuhan-pelabuhan pesisir, kita
dengan mudah melihat kekhasan daerah Pecinan. Daerah pecinan seolah-olah merupakan sebuah kota di dalam kota. Letaknya di sebelah
barat kota dan dipisahkan oleh sebuah
sungai. Rumah-rumahnya dibangun dengan pola bujur sangkar dan terbuat
dari bata. Wilayah ini mempunyai pasar sendiri yang dicapai
melalui sungai”.
Kawasan Pecinan selain dihuni oleh sebagian besar warga
keturunan Cina, juga dihuni oleh warga pribumi atau etnis Jawa. Pecinan kerap
dianggap sebagai “pusat perkembangan” sebab kawasan pecinan merupakan kawasan perdagangan yang sangat
ramai.
Emigrasi
orang Cina ke Jawa mulai terjadi secara
besar-besaran pada abad ke 14. Awal terjadinya
pemukiman Cina di sepanjang pantai Utara
Jawa tersebut sebagai akibat dari aktivitas
perdagangan antara India dan Cina melalui
laut. Perdagangan lewat laut tersebut memanfaatkan angin musim
Utara antara bulan Januari-Pebruari untuk pergi ke Selatan. Sementara angin musim
Selatan antara bulan Juni-Agustus dimanfaatkan untuk
kembali ke Utara. Selama periode badai (Cylone) atau perubahan musim, para
pedagang tinggal di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, disamping mereka menunggu
rekan dagang dari daerah atau negeri
lainnya. Pedagang-pedagang Cina bermukim di daerah yang disinggahinya dan ada pula yang
menikah dengan penduduk pribumi. Maka, proses akulturasi budaya
terjadi pada masa itu. Daerah yang
ditinggali oleh pedagang Cina tersebut kemudian menjadi Entrepot (kota pelabuhan sebagai pusat dari tukar-menukar barang).
Di Jawa, kota-kota tersebut misalnya:
Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Jepara, Lasem, Semarang, Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa (Handinoto,
2010).
Salah satu daerah
permukiman Cina dengan jumlah penduduk terbanyak di Jawa adalah di Semarang.
Pecinan Semarang merupakan bagian dari
wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik
dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti)
dan daerah pinggiran (periphery) yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti
dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan. Daerah inti (core) merupakan lokasi perkampungan Cina lama, tempat bangsa Cina di Semarang
ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Adapun
batas-batas wilayah tersebut adalah sebagai berikut ;
·
Batas
Utara : Jalan Gang
Warung, Pekojan
·
Batas
Selatan : Kali Semarang
·
Batas
Timur : Kali Semarang
·
Batas
Barat : Jalan
Beteng dan Pedamaran
Jalan
utamanya sekarang adalah :
·
Jalan
Gang Pinggir yang merupakan penerusan dari Jalan Pekojan
·
Jalan
Gang Warung yang menerus ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
·
Jalan
Beteng yang sekaligus merupakan batas sebelah Barat kawasan Inti Pecinan sejak dulu.
Jalan-jalan lain
seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru, dan
gang Cilik berada di kawasan ini. Di daerah inilah dulu terdapat empat Benteng yang dibangun
untuk melindungi keamanan penduduk
didalamnya. Banyaknya Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri
mencolok dan sangat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Hal ini ditunjang dengan adanya sebutan yang
menyatakan bahwa Semarang merupakan daerah “1001 Klenteng”.
Pertokoan di sepanjang jalan Gang Warung akan buka pada siang hari sekitar jam sebelas
dan rata-rata merupakan toko tekstil dan toko obat Cina maupun apotek. Jika
diamati lebih lanjut, tata letak kawasan pecinan Semarang dapat dipetakan
sebagai berikut;
a.
Jalan
K.H. Wahid Hasyim : Pertokoan tekstil
dan emas (perhiasan)
b.
Jalan
Pedamaran : Pedagang hasil
bumi di Pasar Johar termasuk pemukiman kumuh di dalam gang-gang sempit yang
dihuni penduduk pribumi.
c.
Jalan
Gang Baru : Tempat
penjualan hasil bumi (pasar tradisional pecinan)
d.
Jalan
Gang Pinggir : Perdagangan
emas dan perhiasan serta warung makan.
e.
Jalan
Gang Besen, Gang Belakang, Gang Gambiran: Pemukiman warga pecinan dan perkantoran.
f.
Jalan
Gang Tengah : Pusat perkantoran Bank.
g.
Jalan
Gang Pinggir dan Gang Baru :
Toko perlengkapan sembahyang dan pernak-pernik khas Cina.
h.
Gang
Beteng, Gang Warung, Gang Pinggir :
Pertokoan. Toko grosir, toko kelontong, dan toko.
Di sepanjang Gang
Warung pada pagi hari sekitar pukul delapan memang tidak tampak adanya pertokoan yang sudah buka. Tetapi, jalan utama pecinan ini tampak
ramai oleh lalu-lalang kendaraan bermotor, becak, dan sepeda onthel. Lahan depan
pertokoan dijadikan lahan parkir untuk mobil dan sepeda motor
juga becak-becak. Ketika berdiri di depan gapura pecinan Semarang, yang tampak hanyalah sebuah warung makan tenda di kanan dan kiri jalan serta
tukang pangkas rambut yang sudah mulai
beraktivitas. Namun, jika dilihat lebih jauh, ada salah satu gang sempit yang sangat padat pengunjung pada setiap paginya,
yaitu Gang Baru.
Gang Baru yang hanya sebuah lorong sempit, sepi dan menyeram kan pada malam hari, mendadak berubah menjadi tempat yang sangat ramai. Hal ini dikarenakan
warga pecinan menjadikan gang tersebut
sebagai lahan dagang atau pasar
tradisional pecinan. Setiap pukul empat dini hari, para pedagang mulai membuka lapak mereka dan menata barang dagangan.
Pedagang di pasar tradisional Gang Baru ini, tidak hanya
berasal dari etnis Cina, melainkan juga
dari etnis Jawa dan Melayu. Salah satu aspek yang mutlak dalam interaksi sosial adalah bahasa yang digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan dan
makna. Di Pasar Gang Baru ini, baik antara pedagang dengan pedagang, maupun pedagang dengan pembeli, sering terdengar
berkomunikasi dalam bahasa Jawa dan
Bahasa Mandarin (Tionghoa). Etnis Cina akan lebih sering berbahasa Tionghoa
dengan sesamanya. Sementara itu, orang yang berasal dari etnis lain tidak mampu
berbahasa Tionghoa, sehingga mereka menggunakan bahasa Jawa. Sebaliknya,
mayoritas etnis Tionghoa lancar berbahasa Jawa dengan dialek aksen Mandarin.


