Permukiman
“pecinan” dipastikan bisa ditemukan pada
setiap kota-kota di Indonesia. Bahkan, pecinan kerap kali terlihat seperti
sebuah kota dalam kota. Edmund Scott
pemimpin loji Inggris di Banten pada tahun 1603-1604, melukiskan kesannya pada
daerah Pecinan di Jawa (Lombard, 1996, jilid 2:275 dalam Handinoto, 1999):
“Sejak tiba di pelabuhan-pelabuhan pesisir, kita
dengan mudah melihat kekhasan daerah Pecinan. Daerah pecinan seolah-olah merupakan sebuah kota di dalam kota. Letaknya di sebelah
barat kota dan dipisahkan oleh sebuah
sungai. Rumah-rumahnya dibangun dengan pola bujur sangkar dan terbuat
dari bata. Wilayah ini mempunyai pasar sendiri yang dicapai
melalui sungai”.
Kawasan Pecinan selain dihuni oleh sebagian besar warga
keturunan Cina, juga dihuni oleh warga pribumi atau etnis Jawa. Pecinan kerap
dianggap sebagai “pusat perkembangan” sebab kawasan pecinan merupakan kawasan perdagangan yang sangat
ramai.
Emigrasi
orang Cina ke Jawa mulai terjadi secara
besar-besaran pada abad ke 14. Awal terjadinya
pemukiman Cina di sepanjang pantai Utara
Jawa tersebut sebagai akibat dari aktivitas
perdagangan antara India dan Cina melalui
laut. Perdagangan lewat laut tersebut memanfaatkan angin musim
Utara antara bulan Januari-Pebruari untuk pergi ke Selatan. Sementara angin musim
Selatan antara bulan Juni-Agustus dimanfaatkan untuk
kembali ke Utara. Selama periode badai (Cylone) atau perubahan musim, para
pedagang tinggal di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, disamping mereka menunggu
rekan dagang dari daerah atau negeri
lainnya. Pedagang-pedagang Cina bermukim di daerah yang disinggahinya dan ada pula yang
menikah dengan penduduk pribumi. Maka, proses akulturasi budaya
terjadi pada masa itu. Daerah yang
ditinggali oleh pedagang Cina tersebut kemudian menjadi Entrepot (kota pelabuhan sebagai pusat dari tukar-menukar barang).
Di Jawa, kota-kota tersebut misalnya:
Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Jepara, Lasem, Semarang, Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa (Handinoto,
2010).
Salah satu daerah
permukiman Cina dengan jumlah penduduk terbanyak di Jawa adalah di Semarang.
Pecinan Semarang merupakan bagian dari
wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik
dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti)
dan daerah pinggiran (periphery) yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti
dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan. Daerah inti (core) merupakan lokasi perkampungan Cina lama, tempat bangsa Cina di Semarang
ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Adapun
batas-batas wilayah tersebut adalah sebagai berikut ;
·
Batas
Utara : Jalan Gang
Warung, Pekojan
·
Batas
Selatan : Kali Semarang
·
Batas
Timur : Kali Semarang
·
Batas
Barat : Jalan
Beteng dan Pedamaran
Jalan
utamanya sekarang adalah :
·
Jalan
Gang Pinggir yang merupakan penerusan dari Jalan Pekojan
·
Jalan
Gang Warung yang menerus ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
·
Jalan
Beteng yang sekaligus merupakan batas sebelah Barat kawasan Inti Pecinan sejak dulu.
Jalan-jalan lain
seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru, dan
gang Cilik berada di kawasan ini. Di daerah inilah dulu terdapat empat Benteng yang dibangun
untuk melindungi keamanan penduduk
didalamnya. Banyaknya Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri
mencolok dan sangat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Hal ini ditunjang dengan adanya sebutan yang
menyatakan bahwa Semarang merupakan daerah “1001 Klenteng”.
Pertokoan di sepanjang jalan Gang Warung akan buka pada siang hari sekitar jam sebelas
dan rata-rata merupakan toko tekstil dan toko obat Cina maupun apotek. Jika
diamati lebih lanjut, tata letak kawasan pecinan Semarang dapat dipetakan
sebagai berikut;
a.
Jalan
K.H. Wahid Hasyim : Pertokoan tekstil
dan emas (perhiasan)
b.
Jalan
Pedamaran : Pedagang hasil
bumi di Pasar Johar termasuk pemukiman kumuh di dalam gang-gang sempit yang
dihuni penduduk pribumi.
c.
Jalan
Gang Baru : Tempat
penjualan hasil bumi (pasar tradisional pecinan)
d.
Jalan
Gang Pinggir : Perdagangan
emas dan perhiasan serta warung makan.
e.
Jalan
Gang Besen, Gang Belakang, Gang Gambiran: Pemukiman warga pecinan dan perkantoran.
f.
Jalan
Gang Tengah : Pusat perkantoran Bank.
g.
Jalan
Gang Pinggir dan Gang Baru :
Toko perlengkapan sembahyang dan pernak-pernik khas Cina.
h.
Gang
Beteng, Gang Warung, Gang Pinggir :
Pertokoan. Toko grosir, toko kelontong, dan toko.
Di sepanjang Gang
Warung pada pagi hari sekitar pukul delapan memang tidak tampak adanya pertokoan yang sudah buka. Tetapi, jalan utama pecinan ini tampak
ramai oleh lalu-lalang kendaraan bermotor, becak, dan sepeda onthel. Lahan depan
pertokoan dijadikan lahan parkir untuk mobil dan sepeda motor
juga becak-becak. Ketika berdiri di depan gapura pecinan Semarang, yang tampak hanyalah sebuah warung makan tenda di kanan dan kiri jalan serta
tukang pangkas rambut yang sudah mulai
beraktivitas. Namun, jika dilihat lebih jauh, ada salah satu gang sempit yang sangat padat pengunjung pada setiap paginya,
yaitu Gang Baru.
Gang Baru yang hanya sebuah lorong sempit, sepi dan menyeram kan pada malam hari, mendadak berubah menjadi tempat yang sangat ramai. Hal ini dikarenakan
warga pecinan menjadikan gang tersebut
sebagai lahan dagang atau pasar
tradisional pecinan. Setiap pukul empat dini hari, para pedagang mulai membuka lapak mereka dan menata barang dagangan.
Pedagang di pasar tradisional Gang Baru ini, tidak hanya
berasal dari etnis Cina, melainkan juga
dari etnis Jawa dan Melayu. Salah satu aspek yang mutlak dalam interaksi sosial adalah bahasa yang digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan dan
makna. Di Pasar Gang Baru ini, baik antara pedagang dengan pedagang, maupun pedagang dengan pembeli, sering terdengar
berkomunikasi dalam bahasa Jawa dan
Bahasa Mandarin (Tionghoa). Etnis Cina akan lebih sering berbahasa Tionghoa
dengan sesamanya. Sementara itu, orang yang berasal dari etnis lain tidak mampu
berbahasa Tionghoa, sehingga mereka menggunakan bahasa Jawa. Sebaliknya,
mayoritas etnis Tionghoa lancar berbahasa Jawa dengan dialek aksen Mandarin.
Barang dagangan yang dijual di Pasar Gang Baru sangat
bervariasi. Mulai dari buah-buahan segar, sayur-mayur, ikan dan udang segar, rempah-rempah. Ada juga daging ayam, sapi, kambing, hingga babi baik yang
masih mentah maupun yang sudah berbentuk daging cincang, sosis dan bakso. Disudut
lain pasar Gang Baru ini, terdapat penjual daging katak hijau yang sudah
dibelah dua, dijual seharga empat puluh ribu rupiah per satu kilogram. Ada juga
yang menjual pakaian, sandal, alat-alat sembahyang dan pernak-pernik khas Cina.
Situasi serupa juga
dapat ditemui di jalan Gang Beteng. Gang Baru dan Gang Beteng merupakan tempat
penjualan hasil bumi. Menurut pedagang
sayur-mayur di pasar tersebut, yang menjadi pangsa pasar utama mereka adalah warga
Cina yang bermukim di Semarang. Hal ini dapat dilihat dari jenis dagangan
mereka yang kebanyakan digemari warga Cina, seperti buah bit yang dijual
seharga tujuh ribu per kilo, daging babi, lobak, buah kiwi, hasil laut segar,
paprika dan sebagainya yang relatif kurang digemari masyarakat pribumi. Daging katak hijau sangat digemari masyarakat Cina. Salah
seorang pembeli menyatakan bahwa sup katak hijau merupakan menu favorit keluarganya. Daging katak hijau dapat menjadi obat mujarab bagi
mereka yang menderita penyakit pada saluran pernapasan, seperti asma. Katak hijau yang sudah dikuliti, kemudian dipotong
dengan gunting, menjadi dua bagian dan dijual seharga empat puluh ribu rupiah
per kilo.
Para pedagang di
pasar Gang Baru ini sangat ramah dan terbuka jika ditanya apa saja. Selain
pedagang pasar, dijumpai pula beberapa pengamen
dan peminta-minta yang mencari nafkah disana. Adapun satu-satunya toko di sepanjang Gang Warung
yang telah buka di pagi hari adalah toko Cahaya Bintang. Toko tersebut menjual alat-alat peribadatan dan
aneka pernak-pernik khas Cina.
Hampir pada setiap toko terdapat tiga carik kertas berwarna
kuning, merah maupun orange yang dibubuhi aksara Cina. Kertas-kertas tersebut
ditempel di atas kusen pintu ruko. Masyarakat Cina menganggap kertas-kertas
tersebut sebagai jimat pelindung. Jimat tersebut dianggap dapat melindungi
mereka dari makhluk jahat tak kasat mata
yang berniat mengganggu penghuni ruko (rumah sekaligus toko). Selain itu, pada etalase atau meja-meja pembayaran, terdapat
patung kucing duduk berwarna kuning emas yang terbuat dari plastik maupun
kuningan. Patung kucing tersebut biasa disebut kucing pembawa rezeki atau dalam
bahasa Cina disebut Zhao Cai Mao. Masyarakat
Tionghoa atau Cina percaya bahwa patung kucing keemasan ini dapat mendatangkan rezeki bagi mereka. Patung kucing tersebut tangan kirinya dapat bergerak-gerak seolah
memanggil-manggil pengunjung untuk datang dan berbelanja.
Disisi lain kawasan pecinan, terdapat sejumlah sepuluh
klenteng dengan keistimewaannya masing-masing dan mempunyai nilai historis yang
melegenda. Klenteng-klenteng tersebut yaitu Klenteng Tay Kak Sie (Gang Lombok) yang merupakan klenteng induk
bagi seluruh klenteng di Semarang, Klenteng
Siu Hok Bio (Jalan Wotgandhul Timur) yang merupakan klenteng tertua di
kawasan pecinan Semarang, Hoo Hok Bio
(perempatan Gang Cilik dan Gang Gambiran), Kong
Tik Soe yang dulunya merupakan bagian dari Tay Kak Sie sebagai rumah abu, Tong Pek Bio (Gang Pinggir), Ling Hok Bio (Gang Pinggir menghadap
gerbang masuk Gang Besen), Tek Hay Bio
(Perempatan Jalan Sebandaran) , Wie Wie
Kiong (Jalan Sebandaran I dekat kali Semarang), See Ho Kong (Jalan Sebandaran I) dan Klenteng Grajen.
Menurut salah seorang
bapak penjaga klenteng Hoo Hok Bio, semua klenteng saat masa pembangunannya
sudah mengikuti aturan arah feng-shui.
Setiap pagi sebelum beraktivitas, warga pecinan akan pergi ke klenteng untuk
membakar dupa, mengormati para dewa juga leluhur mereka dan berdoa. Selain
menjadi tempat peribadatan, klenteng juga dijadikan destinasi utama wisata di
Kota Semarang. Salah satu klenteng
terbesar di Semarang dengan sejarah yang melegenda yaitu Klenteng Sam Poo Kong
dijadikan ikon wisata kebanggaan Kota Semarang.
Pada siang hari, kegiatan di kawasan pecinan khususnya pada
Jalan Gang Warung mulai ramai. Mobil, sepeda motor, sepeda onthel, becak, truk-truk dan pejalan kaki lalu lalang di jalan ini.
Pada pukul sebelas lebih tiga puluh menit, beberapa toko di Jalan Gang Warung
mulai buka. Toko tekstil yang baru buka, sibuk menata bal-balan kainnya untuk
dipajang di depan toko. Ada pula toko yang baru saja mendapat kiriman kain.
Para pegawai toko tersebut tampak sibuk menurunkan kain-kain kiriman dari dalam
mobil box dan memasukkannya ke dalam
toko.
Disisi lain, para pedagang di pasar tradisional Gang Baru
tengah bersiap menutup lapaknya. Mereka sibuk menata barang dagangannya ke
dalam keranjang. Mereka juga menyapu kawasan sekitar lapaknya menggunakan sapu
lidi, kemudian menutup kayu-kayu tonggak lapak yang telah mereka rebahkan dan
disusun rapi dengan terpal. Sampah-sampah pasar yang telah disapu tadi mereka
masukkan ke dalam keranjang sampah yang terbuat dari anyaman bambu. Mereka
meletakkan keranjang sampah di ujung Gang Baru. Keranjang-keranjang sampah
tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal ini dikarenakan sebagian besar
sampah yang dihasilkan pasar tradisional tersebut merupakan sampah basah
seperti dedaunan, buah-buah yang rusak, bekas daging, sisik ikan, belum lagi
kotoran ayam dan kulit-kulit sapi yang dibuang. Setelah semuanya beres dan jalan Gang Baru tampak
bersih, para pedagang di pasar tradisional meninggalkan tempat tersebut sekitar
pukul dua belas siang. Maka, kondisi kawasan Gang Baru menjadi sepi kembali. Tidak
banyak aktivitas yang mencolok pada setiap siangnya.
Di sisi lain, Gang Warung masih tampak ramai dengan lalu
lalang kendaraan, tidak banyak aktivitas jual beli disana. Hanya ada pegawai
toko tekstil dan obat-obatan Cina yang menantikan pengunjung masuk ke toko mereka. Sementara di
depan pertokoan, tampak para tukang parkir sibuk merapikan motor sejajar satu
sampai dua lapis. Tukang becak yang menunggu-nunggu pengunjung menggunakan jasa mereka, turut menghidupkan suasana siang
di pecinan Gang Warung. Para tukang becak berbincang-bincang dengan sesama
tukang becak maupun tukang parkir, untuk
mengisi waktu. Adapula tukang becak yang memanfaatkan waktu mereka untuk tidur. Tak jarang, tukang becak itu tidur terlentang di
atas becaknya. Mereka terlihat sangat menikmati kesempatan istirahat itu, sebelum
mengayuh untuk mengantarkan penumpang sampai pada tujuannya.
Satu hal unik yang tak bisa luput dari pengamatan yakni
kebiasaan masyarakat di kawasan pecinan membaca harian atau koran. Baik para pedagang, tukang becak,
tukang parkir, pegawai toko hingga para tokey
mempunyai kebiasaan membaca koran di sela aktivitasnya. Ditengah-tengah kesibukan
mereka berdagang maupun menjual jasa, mereka masih sempat membuka koran dan membacanya. Seorang pedagang
cabai membaca koran hingga keningnya berkerut. Ia tampak antusias dengan berita
pagi itu. Seorang tukang becak dengan santainya, membaca koran dengan kaki naik
ke bilah-bilah besi penyangga atap becaknya. Lembaran koran tersebut menenggelamkan wajahnya. Ia membaca koran
sambil terus menunjuk-nunjuk tiap baris kata dalam kolom berita pagi itu.
Selepas tengah hari,
kondisi di kawasan pecinan masih biasa-biasa saja. Terlihat beberapa
kendaraan lalu-lalang melintasi Jalan
Gang Warung, namun tak banyak yang
singgah di daerah pecinan. Kawasan depan pertokoan Gang Warung ini juga
dijadikan sebagai lahan parkir masyarakat yang hendak berbelanja ke pasar
Johar. Hal lain terjadi di sekitar Gang Besen, Gang Tengah, Gang Pinggir dan
Jalan Wotgandhul yang notabene merupakan kawasan permukiman, perkantoran,
sekolah dan warung makan. Setiap tengah hari, para karyawan bank atau perkantoran sekitar, keluar kantor untuk beristirahat.
Kebanyakan mereka pergi menuju warung-warung makan yang buka di sepanjang Jalan
Wotgandhul hingga Gang Pinggir. Karyawan perkantoran maupun bank yang terletak di sepanjang Gang Besen dan Gang Tengah, bekerja mulai pukul delapan
pagi hingga pukul tiga sore.
Keramaian yang sangat
tampak justru di jumpai di sepanjang Jalan K. H. Wahid Hasyim (Kranggan).
Kranggan menjadi pusat pertokoan
tekstil, emas dan perhiasan yang terkenal di Kota Semarang. Kebanyakan pemilik
toko emas dan perhiasan merupakan etnis
Cina, sementara pemilik toko tekstil dan toko kasur atau karpet merupakan etnis
Melayu, Arab, Jawa dan beberapa dari etnis Cina. Hampir setiap toko emas dan
perhiasan di Kranggan, etalasenya dipagari oleh teralis besi dan dijaga oleh
seorang polisi yang membawa pistol di sabuk pinggangnya. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi kejahatan seperti perampokan dan penodongan yang bisa
terjadi kapan saja.
Di sepanjang Gang Warung juga
terdapat anak cabang gang yaitu gang sempit yang diberi nama Gang Cilik dan
Gang Gambiran. Masyarakat menamakan gang tersebut dengan sebutan “Gang Cilik”
sebagai penanda bahwa gang daerah atau jalan tersebut sangat kecil, pendek dan sempit. Sementara itu, masyarakat menamai “Gang Gambiran” karena pada zaman dahulu di jalan itu terdapat gudang penyimpanan “gambir” atau
bahan untuk penyamakan kulit. Di perempatan atau perpotongan antara Gang Cilik
dengan Gang Gambir, ada sebuah ruko yang dijadikan sebagai pusat produksi
kijing, patung, dan batu nisan yang berbahan dasar batu andesit. Rumah industri
tersebut bernama Hok Tjoan Hoo.
Sony, salah satu pekerja
pembuatan kijing, dengan senang hati menunjukkan proses pembuatan kijing dan batu nisan kepada penulis. Ia menyatakan, pemesan
kijing maupun batu nisan kebanyakan berasal dari etnis Jawa, Cina dan Arab.
Rata-rata pemesan memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. Sony dan beberapa temannya sesama
pekerja pembuatan kijing, dapat menyelesaikan proyek pembuatan kijing ini
selama kurang lebih satu bulan. Lamanya waktu pengerjaan tergantung pada ukuran
kijing yang akan dibuat dan kerumitan pola pahatan pada kijing tersebut. Satu kijing dibandrol dengan harga mulai dari delapan
juta hingga puluhan juta rupiah, tergantung
besar-kecilnya kijing. Sony dan kawan-kawan bekerja mulai pukul delapan pagi hingga pukul empat sore setiap harinya.
Mereka akan banyak menghabiskan waktu duduk diatas kursi kayau bulat tanpa
sandaran dan mengerjakan pahatan kijing dan nisan secara manual. Mereka hanya
menggunakan pahat batu yang terbuat dari besi dengan ujung lancip dan
juga palu kecil untuk memahat.
Menjelang sore hari sekitar pukul tiga hingga pukul empat
sore, kondisi kawasan Gang Warung , Gang Beteng, Jalan Pedamaran dan Kranggan mulai sepi. Pedagang sayuran yang menempati
los-los di sepanjang Jalan Pedamaran sudah
mulai pulang. Toko-toko tekstil, karpet, emas dan perhiasan di Kranggan juga
sudah mulai tutup. Seiring dengan kepulangan para pemilik toko tersebut, ada sekelompok
orang yang berdatangan dan menempati pelataran toko. Mereka mulai menggelar
terpal atau spanduk sebagai alas duduk dan alas untuk barang dagangan mereka. Adapula yang tidak menggunakan alas
apapun, melainkan dagangannya langsung digeletakkan di atas ubin-ubin pelataran
toko. Sebagian besar bapak-bapak dan ibu-ibu yang berjualan itu sudah paruh baya. Mereka menjajakan handphone-handphone
bekas, pakaian-pakaian bekas,
tas-tas bekas, kipas angin bekas, sandal dan sepatu bekas, dan juga alat-alat
rumah tangga bekas dengan harga yang sangat murah. Para pedagang barang-barang
bekas ini mulai beroperasi dari pukul
empat sore hingga malam hari. Pengunjung
yang datang untuk membeli maupun sekedar
melihat-lihat dagangan tersebut pun tidak sedikit.
Kompleks pecinan yang dikelilingi oleh Kali Semarang dulunya
memang sengaja di desain sedemikian rupa
karena menurut feng shui, posisi
inilah yang terbaik. Menurut Suliyanti (2010), letak permukiman yang dilingkari
sungai (posisi “sabuk kumala”)
dipercaya akan membawa berkah kepada para penghuni pecinan. Salah seorang taci (pemilik toko) pernak-pernik khas
Cina bercerita bahwa pada zaman dahulu Kali Semarang masih bersih. Para leluhur mereka, pendiri
Pecinan Semarang memilih daerah itu karena Kali Semarang dianggap membawa atau
mengalirkan aura baik dan keberkahan
bagi masyarakat. Namun, yang terjadi sekarang, Kali Semarang kerap kali meluap
ketika musim hujan datang. Kali Semarang
menjadi sangat kotor dan berbau tak sedap.
Ketika menelusuri jalan sempit di Gang Lombok, penulis menemukan
seorang pria yang sehari-harinya tinggal
dan bekerja di perahu miliknya. Perahu tersebut dijadikan tempat tinggal sekaligus
tempatnya mencari uang. Pria tersebut menjual jasa perahu penyebrangan. Setiap
harinya, ia menyebrangkan penumpang melintasi Kali Semarang dari Jalan Gang Lombok Timur menuju Jalan
Gang Lombok Barat. Ia menyebrangkan penumpang dibantu dengan seutas tali yang
memanjang melintasi sungai dari timur ke barat. Setiap kali menyebrangkan
penumpang, ia akan dibayar sebesar lima ratus rupiah untuk sekali jalan.
Pada malam-malam hari
biasa, kawasan pecinan dan sekitarnya sangat sepi. Hanya sedikit kendaraan yang melewati jalananan kawasan Gang Warung. Di sepanjang jalan Gang
Warung pada malam hari hanya ada lima warung tenda yang buka. Warung tenda
tersebut menjual makanan seperti soto, sate ayam dan kambing, dan nasi goreng
juga mie goreng. Warung-warung tenda ini ada yang sudah buka sejak pagi, ada
pula yang baru buka pukul lima sore. Mereka akan menutup dagangannya pada pukul
sebelas malam.
Berbeda seratus
delapan puluh derajat dengan kondisi malam di hari biasanya, pada malam-malam
akhir pekan yaitu Jumat, Sabtu, dan Minggu, kawasan pecinan berubah drastis
menjadi kawasan yang sangat ramai. Jauh dari kesan gelap dan mengerikan. Setiap malam akhir pekan, di
sepanjang jalan Gang Warung berubah
menjadi pasar malam pecinan atau yang terkenal dengan sebutan “Pasar
Semawis” atau Pasar Semarang Pariwisata. Setiap pukul setengah empat sore, para
pedagang yang menjadi peserta Pasar Semawis ini mulai mempersiapkan tenda-tenda tempat mereka berjualan dan barang
dagangan mereka. Mereka akan buka mulai pukul lima sore.
Pasar malam Semawis yang dikenal luas dengan sebutan
“Waroeng Semawis” ini merupakan gagasan dari Komunitas Pecinan Semarang untuk
Pariwisata (Kopi Semawis). Kantor sekretariat Waroeng Semawis berada di Jalan
Gang Warung nomor 50. Waroeng Semawis ini diikuti kurang lebih seratus tiga
peserta yang menjajakan berbagai macam dagangan. Di Waroeng Semawis ini dapat dengan
mudah ditemukan makanan khas Semarang seperti pisang plenet, lunpia, tahu
gimbal, dan lainnya. Tidak hanya itu, masakan Nusantara pun tersedia disini,
seperti sate (ayam, sapi, kambing, babi), aneka olahan mie (babi, bekicot,
dsb), nasi campur, olahan hasil laut seperti kerang dan ikan segar. Beberapa
makanan khas Jawa yang ditawarkan disini seperti, tumpang dan pecel khas
Nganjuk dan Gudeg Wijilan khas Yogya. Selain itu, makanan khas Pecinan
mendominasi warung-warung tenda di Waroeng Semawis ini, seperti baikut, mie
Singapore, nasi ayam Hainan, siomay, sosis bakar, the liang, wedhangan, bento,
hiwan tahu, kue pukis, serabi, dan sebagainya.
Selain menjual makanan, minuman dan jajanan, peserta Waroeng
Semawis juga ada yang menjual pakaian, tas, sandal dan sepatu, obat-obatan
Cina, minyak urut, pernak-pernik Cina, mainan anak-anak seperti barong-barongan
dan sebagainya. Ada juga pedagang yang menjual hewan peliharaan seperti kura-kura, keong dengan
rumahnya yang lucu dan menarik, kucing dengan bulu yang cantik dan terawat, dan
juga burung hantu. Diantara pedagang-pedagang itu, kita juga dapat dengan mudah
menemukan peserta Waroeng Semawis yang menjual jasa, seperti jasa pijat-urut,
jasa supranatural atau meramal nasib, jodoh, rejeki dan juga jasa pengobatan
Cina kuno dengan jurus Kun Tao. Selain itu, ada dua tenda Waroeng Semawis yang dijadikan
sebagai tempat karaoke yang diperuntukkan bagi mereka yang hobi bernyanyi.
Tempat karaoke keluarga ini menyuguhkan lagu-lagu yang berbahasa Mandarin dan
Indonesia. Kebanyakan yang berkaraoke adalah sekeluarga Cina yang menyanyikan
lagu-lagu berbahasa Mandarin. Lagu-lagu yang diputar kebanyakan merupakan
lagu-lagu melankolis yang mendayu-dayu.
Waroeng Semawis sangat ramai pengunjung pada setiap
malamnya, terlebih malam minggu. Jika berkunjung ke Waroeng Semawis pada malam
minggu, pengunjung harus mau berdesakan dengan pengunjung lain. Jalan masuk ke
Jalan Gang Warung ditutup untuk kendaraan. Pengunjung harus memarkir
kendaraannya di tempat parkir yang disediakan. Untuk sepeda motor akan
dikenakan biaya parkir sebesar dua ribu rupiah.
Pengunjung Waroeng
Semawis ini tidak hanya berasal dari etnis Cina saja, melainkan dari berbagai
kalangan dan etnis. Muda-mudi menjadikan Waroeng Semawis sebagai destinasi
wisata untuk bermalam minggu. Di Waroeng Semawis ini mereka bisa berjalan-jalan
dan makan malam bersama pasangannya maupun bersama teman-teman sekolahnya. Para
orang tua juga memilih Waroeng Semawis sebagai tempat kumpul keluarga besar.
Sembari santap malam, mereka berbincang-bincang dengan anak-anak mereka ataupun
eyang mereka bisa bercengkrama dengan cucu-cucu mereka. Suasana kekeluargaan
sangat terasa ketika mengunjungi Waroeng Semawis ini. Waroeng Semawis yang
diselenggarakan sejak tahun 2004 ini, mulai beroperasi mulai pukul lima sore
hingga sebelas malam.
DAFTAR
PUSTAKA
Handinoto.
1999. Lingkungan “Pecinan” dalam Tata Ruang Kota di Jawa pada Mas Kolonial. Jurnal
Dimensi Teknik Sipil Vol. 27, No. 1, Universias Kristen Petra
Suliyanti,
Tatiek. 2011. Penerapan Feng shui
pada Bangunan Klenteng di Pecinan Semarang. Artikel Ilmiah
Add your comment