Permukiman
“pecinan” dipastikan bisa ditemukan pada
setiap kota-kota di Indonesia. Bahkan, pecinan kerap kali terlihat seperti
sebuah kota dalam kota. Edmund Scott
pemimpin loji Inggris di Banten pada tahun 1603-1604, melukiskan kesannya pada
daerah Pecinan di Jawa (Lombard, 1996, jilid 2:275 dalam Handinoto, 1999):
“Sejak tiba di pelabuhan-pelabuhan pesisir, kita
dengan mudah melihat kekhasan daerah Pecinan. Daerah pecinan seolah-olah merupakan sebuah kota di dalam kota. Letaknya di sebelah
barat kota dan dipisahkan oleh sebuah
sungai. Rumah-rumahnya dibangun dengan pola bujur sangkar dan terbuat
dari bata. Wilayah ini mempunyai pasar sendiri yang dicapai
melalui sungai”.
Kawasan Pecinan selain dihuni oleh sebagian besar warga
keturunan Cina, juga dihuni oleh warga pribumi atau etnis Jawa. Pecinan kerap
dianggap sebagai “pusat perkembangan” sebab kawasan pecinan merupakan kawasan perdagangan yang sangat
ramai.
Emigrasi
orang Cina ke Jawa mulai terjadi secara
besar-besaran pada abad ke 14. Awal terjadinya
pemukiman Cina di sepanjang pantai Utara
Jawa tersebut sebagai akibat dari aktivitas
perdagangan antara India dan Cina melalui
laut. Perdagangan lewat laut tersebut memanfaatkan angin musim
Utara antara bulan Januari-Pebruari untuk pergi ke Selatan. Sementara angin musim
Selatan antara bulan Juni-Agustus dimanfaatkan untuk
kembali ke Utara. Selama periode badai (Cylone) atau perubahan musim, para
pedagang tinggal di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, disamping mereka menunggu
rekan dagang dari daerah atau negeri
lainnya. Pedagang-pedagang Cina bermukim di daerah yang disinggahinya dan ada pula yang
menikah dengan penduduk pribumi. Maka, proses akulturasi budaya
terjadi pada masa itu. Daerah yang
ditinggali oleh pedagang Cina tersebut kemudian menjadi Entrepot (kota pelabuhan sebagai pusat dari tukar-menukar barang).
Di Jawa, kota-kota tersebut misalnya:
Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Jepara, Lasem, Semarang, Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa (Handinoto,
2010).
Salah satu daerah
permukiman Cina dengan jumlah penduduk terbanyak di Jawa adalah di Semarang.
Pecinan Semarang merupakan bagian dari
wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik
dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti)
dan daerah pinggiran (periphery) yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti
dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan. Daerah inti (core) merupakan lokasi perkampungan Cina lama, tempat bangsa Cina di Semarang
ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Adapun
batas-batas wilayah tersebut adalah sebagai berikut ;
·
Batas
Utara : Jalan Gang
Warung, Pekojan
·
Batas
Selatan : Kali Semarang
·
Batas
Timur : Kali Semarang
·
Batas
Barat : Jalan
Beteng dan Pedamaran
Jalan
utamanya sekarang adalah :
·
Jalan
Gang Pinggir yang merupakan penerusan dari Jalan Pekojan
·
Jalan
Gang Warung yang menerus ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
·
Jalan
Beteng yang sekaligus merupakan batas sebelah Barat kawasan Inti Pecinan sejak dulu.
Jalan-jalan lain
seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru, dan
gang Cilik berada di kawasan ini. Di daerah inilah dulu terdapat empat Benteng yang dibangun
untuk melindungi keamanan penduduk
didalamnya. Banyaknya Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri
mencolok dan sangat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Hal ini ditunjang dengan adanya sebutan yang
menyatakan bahwa Semarang merupakan daerah “1001 Klenteng”.
Pertokoan di sepanjang jalan Gang Warung akan buka pada siang hari sekitar jam sebelas
dan rata-rata merupakan toko tekstil dan toko obat Cina maupun apotek. Jika
diamati lebih lanjut, tata letak kawasan pecinan Semarang dapat dipetakan
sebagai berikut;
a.
Jalan
K.H. Wahid Hasyim : Pertokoan tekstil
dan emas (perhiasan)
b.
Jalan
Pedamaran : Pedagang hasil
bumi di Pasar Johar termasuk pemukiman kumuh di dalam gang-gang sempit yang
dihuni penduduk pribumi.
c.
Jalan
Gang Baru : Tempat
penjualan hasil bumi (pasar tradisional pecinan)
d.
Jalan
Gang Pinggir : Perdagangan
emas dan perhiasan serta warung makan.
e.
Jalan
Gang Besen, Gang Belakang, Gang Gambiran: Pemukiman warga pecinan dan perkantoran.
f.
Jalan
Gang Tengah : Pusat perkantoran Bank.
g.
Jalan
Gang Pinggir dan Gang Baru :
Toko perlengkapan sembahyang dan pernak-pernik khas Cina.
h.
Gang
Beteng, Gang Warung, Gang Pinggir :
Pertokoan. Toko grosir, toko kelontong, dan toko.
Di sepanjang Gang
Warung pada pagi hari sekitar pukul delapan memang tidak tampak adanya pertokoan yang sudah buka. Tetapi, jalan utama pecinan ini tampak
ramai oleh lalu-lalang kendaraan bermotor, becak, dan sepeda onthel. Lahan depan
pertokoan dijadikan lahan parkir untuk mobil dan sepeda motor
juga becak-becak. Ketika berdiri di depan gapura pecinan Semarang, yang tampak hanyalah sebuah warung makan tenda di kanan dan kiri jalan serta
tukang pangkas rambut yang sudah mulai
beraktivitas. Namun, jika dilihat lebih jauh, ada salah satu gang sempit yang sangat padat pengunjung pada setiap paginya,
yaitu Gang Baru.
Gang Baru yang hanya sebuah lorong sempit, sepi dan menyeram kan pada malam hari, mendadak berubah menjadi tempat yang sangat ramai. Hal ini dikarenakan
warga pecinan menjadikan gang tersebut
sebagai lahan dagang atau pasar
tradisional pecinan. Setiap pukul empat dini hari, para pedagang mulai membuka lapak mereka dan menata barang dagangan.
Pedagang di pasar tradisional Gang Baru ini, tidak hanya
berasal dari etnis Cina, melainkan juga
dari etnis Jawa dan Melayu. Salah satu aspek yang mutlak dalam interaksi sosial adalah bahasa yang digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan dan
makna. Di Pasar Gang Baru ini, baik antara pedagang dengan pedagang, maupun pedagang dengan pembeli, sering terdengar
berkomunikasi dalam bahasa Jawa dan
Bahasa Mandarin (Tionghoa). Etnis Cina akan lebih sering berbahasa Tionghoa
dengan sesamanya. Sementara itu, orang yang berasal dari etnis lain tidak mampu
berbahasa Tionghoa, sehingga mereka menggunakan bahasa Jawa. Sebaliknya,
mayoritas etnis Tionghoa lancar berbahasa Jawa dengan dialek aksen Mandarin.
