Sekilas Teori Strukturalisme Levi-Strauss

in , by nyakizza.blogspot.com, 19.41
Teori strukturalisme pada intinya berpendapat bahwa dalam segala keanekaragaman budaya tentu ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya universal, sama dimanapun dan kapanpun. Claude Levi-Strauss sendiri dikenal sebagai Bapak Strukturalisme, karena memang beliaulah yang pertama kali menjelaskannya secara lebih rinci dan detail.

A.   Biografi dan Karya Lévi-Strauss

Claude Lévi-Strauss adalah seorang antropolog sosial Perancis dan filsuf strukturalis. Ia lahir di Brussels, Belgia, pada 28 Nopember 1908 sebagai seorang keturuan Yahudi. Namun pada tahun 1909 orang tuanya pindah ke Paris, Perancis. Ayahnya bernama Raymond Lévi-Strauss dan ibunya bernama Emma Levy. Sejak kecil Lévi-Strauss sudah mulai bersentuhan dengan dunia seni, yang kelak akan banyak ditekuninya ketika dewasa, karena memang ayahnya adalah seorang pelukis.
Sesungguhnya pendidikan formal dan minat Lévi-Strauss pada awalnya bukanlah Antropologi. Pada tahun 1927, Lévi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama itu pula, ia pun mempelajari filsafat di Universitas Sorbonne. Studi hukum diselesaikannya hanya dalam waktu satu tahun. Sedangkan dari studi filsafat, aliran materialisme menjadi aliran yang banyak mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argument materialisme adalah segala sesuatu harus bisa diukur, diverifikasi, dan diindera. Namun pada suatu saat Levi-Strauss mengungkapkan kebosanannya dalam mengajar. Kemudian setelah membaca buku Primitive Social karya Robert Lowie, seorang ahli antropologi. Bermula dari membaca buku Robert Lowie itulah ketertarikannya akan dunia antropologi muncul. Akhirnya, Levi-Strauss semakin jelas berpaling kepada Antropologi ketika mengajar di Sao Paulo, Brazil, dan melakukan studi antropologi yang lebih luas di pusat Brazil. Selama mengajar di Brazil itulah ia mulai banyak melakukan ekspedisi di daerah-daerah pedalaman Brazil. Heddy Shri dalam bukunya menyebutkan, ekspedisi pertamanya adalah ke daerah Mato Grosso. Dari ekspedisi itu Levi-Strauss merasa mendapatkan pengalaman batin yang menginspirasikan banyak hal, yang tertuang dalam bukunya Trites Tropique. Itulah karya pertamanya dan sekaligus mengukuhkan dirinya masuk kedalam bidang antropologi.
Dalam prosesnya melakukan penelitian dan pengamatan banyak terbentur hambatan. Hal ini salah satunya tidak lepas dari karena ia termasuk keturunan Yahudi, yang saat itu dalam pergolakan pembantaian oleh Jerman. Sampai ia akhirnya harus mengalami pemecatan. Pada tahun 1947, ia kembali ke Perancis dan pada tahun berikutnya ia diangkat sebagai maitre de recherché selama beberapa bulan di CNRS (Center National de la Recherche Scintifique/Pusat Penelitian Ilmiah Nasional). Pada tahun yang sama, ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sorbonne, dengan disertasi Les Structures elementaires de la parente. Levi-Strauss dianggap sebagai pendiri strukturalisme, sebuah paham yang memegang bahwa kode terstruktur adalah sumber makna dan bahwa unsur-unsur struktur yang harus dipahami melalui hubungan timbal balik mereka. Lebih lanjut, bahwa struktur sosial adalahkebebasan dari kesadaran manusia dan ditemukan dalam mitos dan ritual. Secara singkat, itulah inti dari teori strukturalisme menurut pendapat Levi-Strauss.
Levi-Strauss banyak menghasilkan karya-karya tulis besar yang sangat menarik banyak perhatian banyak kalangan, baik dari intelektual maupun awam. Karya-karya terbesar tersebut antara lain: The Elementary Structures of Kinship (1949), Structural Anthropology (1958),The Savage Mind (1962), and the Mythologics, 4 vols. (1964–72). Mythologics sendiri terdiri dari tetralogi The Raw and The Cooked, From Honey to Ashes, The Origin of Table Manners, dan The Naked Man.
Dalam tahun 1968 ia dianugerahi medali emas untuk jasanya memajukan ilmu-ilmu sosial di Perancis dari CNRS (Centre Nationale de la Recherche Scientifique), dan dalam tahun 1976 ia menerima hadiah Bintang Viking untung ilmu antropologi.



B. Metode Segitiga Kuliner

Levi-Strauss menaruh perhatian besar terhadap makanan dan rupa-rupanya karena makanan adalah kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusiaMemasak makanan merupakan bentuk budaya yang sangat penting, karena ia memasak merupakan transisi dari alam (nature)  ke budaya (culture). Menurut Edmund Leach (1985: 34), memasak merupakan cara yang universal untuk mentransformasikan alam ke dalam budaya. Penelitian ini diarahkan untuk menelusuri bagaimana pandangan struktural Levi-Strauss dapat diterapkan untuk melihat sistem makanan (food system), karena pendekatan struktural memandang semua fenomena kultural sebagai suatu sistem.
Manusia berbeda dengan binatang dalam mengkonsumsi makanannya. Apabila binatang langsung memakan makanannya yang berasal dari alam secara mentah, manusia secara universal memproses terlebih dahulu makanan yang akan disantapnya. Walaupun demikian ada juga manusia yang menyukai makanan mentah, tanpa dimasak terlebih dahulu. Berbagai jenis makanan yang disantap manusia tidak semata-mata bertujuan untuk membuat kenyang dan menghasilkan energi, namun terdapat jenis-jenis makanan dimasak dan dihidangkan dengan tujuan tertentu. Makanan dapat diberi makna sosial, keagamaan, dan pada pokoknya makanan tersebut mempunyai arti simbolik.
Makanan manusia terdiri dari 3 jenis, yaitu (a) makanan mentah, (b) makanan melalui proses pemasakan, dan (c) makanan melalui proses fermentasi. Makanan mentah adalah makanan yang bebas dari segalam macam proses (non-elabore). 
Berdasarkan akal dan keperluannya sejumlah makanan manusia ada yang bebas dari penggarapan tangan manusia, artinya “bebas dari proses”, dan yang lainnya ada yang harus “kena proses” penggarapan tangan manusia. Levi-Strauss selanjutnya menyatakan bahwa dalam golongan makanan yang “kena proses” dibagi dua lagi, yaitu makanan yang dimasak dan makanan yang terkena proses fermentasi. Kedua jenis makanan tersebut berasal dari “suasana” yang berbeda, makanan yang dimasak artinya terkena kebudayaan manusia, sedangkan makanan fermentasi adalah makanan yang terjadi karena proses alami.

Manusia kemudian mencoba menghubungkan antara makanan yang telah terkena tindakan kebudayaan dan makanan yang dapat dikonsumsi karena proses pematangan alam (fermentasi). Maka kemudian manusia mendapatkan golongan makanan mentah yang terletak di antara dua ekstrim, yaitu bahwa makanan itu mentah karena tidak ada campur tangan manusia, namun dapat juga digolongkan yang terkena tindakan kebudayaan karena sumber makanan tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ditanam dan dari hewan yang dipelihara manusia. Dengan demikian seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia, terdapat konsep “segitiga kuliner” dalam menghasilkan makanan yang dikonsumsinya.

C. Analisa Sistem Kekerabatan

Levi-Strauss dalam masa karir akademisnya ia menjadi seorang ahli filsafat, terutamaahli filsafat yang berfikir tentang masalah asas-asas cara berfikir simbolik darimanusia sebagai makhluk kolektif yang berinteraksi dalam masyarakat. Levi-Straussmenganggap ilmu antropologi sebagai ilmu yang dapat memberikan data etnografis mengenai masyarakat primitif, yang dianggapnya perlu untuk mengembangkangagasan-gagasan dan konsep filsafatnya. Masyarakat bersahaja dianggap sebagai contoh dari masyarakat elementer, dan manusia yang kehidupan didalamnya tentu juga berpikir secara elementer, atau dengan istilahnya berpikir secara bersahaja.  
Masyarakat bersahaja biasanya didominasi oleh system kekerabatan, dan warga-warganya berinteraksi didalamnya berdasarkan system simbolik yang menentukan sikap mereka terhadap paling sedikit tiga kelas kerabat, yaitu kerabat karena hubngan darah, karena hubungan kawin, dan karena hubungan keturunan. Dalam usahanya menganalisa segala macam system kekerabatan, seperti juga Brown, Levi-strauss, berpangkal kepada keluarga inti. Ketiga macam hubungan dalam rangka keluarga inti adalah:(1.) hubugan antara seorang individu E dengan saudara-saudara sekandungnya yang berup hubungan darah. (2) hubungan antara E dengan istrinya berupa hubungan karena kawin, yang menghubungkan kelompok saudara sekandungnya dengan saudara sekandung istrinya. (3.) hubungan yang lain yaitu hubungan antara E dan istrinya dengan anak-anak mereka, yang merupakan hubungan keturunan. Dalam kenyataan, kehidupan kekerabatan yang oleh Levi-Strauss dianggap hubugan positif adalah hubungan berdasarkan sikap bersahabat, mesra, dan cinta- mencintai,sedangkan apa yang dianggapnya hubungan negatif adalah hubungan berdasarkan sikap sungkan, resmi, dan menghormati. Kedua hipotesis tadi secara logikamemungkinkan enam kombinasi yang olehnya di ilustrasikan dengan data dari enam suku bangsa, yaitu suku bangsa Trobrian yang telah dideskripsi oleh Malinowski, bangsa-bangsa Siuai di Kepulauan Solomon, Melanesia, suku bangsa Dobu di kepulauan dekat Trobrian, suku-suku bangsa Kobutu di Papua Nugini, suku bangsacherkess, suku bangsa Tonga di Polynesia. Kalau kita teliti data etnografi Levi-Strauss lebih mendalam, maka tampak subyektifnya ia meniai suatu hubungan kekerabatan itu sebagai positif atau negative,dan tampak pula bahwa tidak jarang ia membawa ukuran kebudayaan sendiri, yaitu kebudayaan perancis, untuk membuat penilaian tadi. Kecuali itu, dari data keenam suku bangsa itu menurut metodologi penelitian Levi-stauss sebenarnya belum membuktikan kebenaran dari kedua hipotesanya itu, karena ia hanya memilih enam contoh saja untuk mengilustrasikan tiap kemungkinan kombinasi sikap antara kaumkerabat inti yang mungkin ada.

D. Azas Klasifikasi Elementer

Mengenai azas klasifikasi elementer, Levi-Strauss mengatakan bahwa untuk mengetahui kategori-kategori yang secara elementer dipergunakan akal manusia dalam mengklasifikasikan seluruh alam semesta beserta segala isinya, maka dapat dipelajari dari studi tentang totemisme. Menurutnya, arti kata totem (yang secara lengkap berbunyi ototeman dalam bahasa Ojibwa) adalah “dia adalah kerabat pria saya”. Memang hampir secara universal manusia dalam akal pikirannya merasakan dirinya sebagai kerabat atau berhubungan dengan hal-hal tertentu dalam alam semesta sekelilingnya, atau dengan manusia-manusia tertentu dalam lingkungan sosial-budayanya, sehingga manusia ber-ototeman dengan hal-hal itu. Dalam hubungan itu, manusia mengklasifikasikan lingkungan alam serta sosial budayanya ke dalam kategori-kategori yang elementer. Suatu hal yang paling pokok dalam pandangan ini adalah membagi alam semesta ke dalam dua golongan berdasarkan ciri-ciri yang saling kontras bertentangan, atau merupakan kebalikannya, yaitu suatu cara yang disebut binary opposition (oposisi berpasangan). Dua golongan ini bersifat mutlak (mis: bumi-langit, pria-wanita), bisa pula bersifat relatif (mis: kiri-kanan, orang dalam-orang luar). Pada oposisi tipe pertama tiap pihak dalam pasangan saling menempati kedudukan yang tetap dan mutlak. Sedangkan pada oposisi tipe relatif, satu pihak dalam pasangan menempati kedudukan tertentu terhadap pihak lawannya, tetapi bisa juga menempati kedudukan lawannya itu terhadap pihak ketiga. Tipe klasifikasi ke dalam dua golongan beroposisi ini secara universal ada dalam hampir semua kebudayaan di dunia.

Konsep elementer dua golongan yang relative telah menimbulkan konsep akan adanya golongan ketiga yang bisa menempati kedua kedudukan dalam kedua pihak dari suatu pasangan binary. Pihak ketiga itu dalam cara berpikir bersahaja dianggap merupakan suatu golongan antara yang memiliki ciri-ciri dari kedua belah pihak, namun tidak tercampur, melainkan saling terpisah dalam keadaan yang berlainan. Contoh dari gagasan rangkaian tiga adalah misalnya; manusia/roh halus/dewa, kerabat darah/kerabat karena nikah/bukan kerabat, hidup/maut/kehidupan akhirat, bumi/gunung/langit, dsb.




Sumber :
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Paz, Octavio. 1997. Levi-Strauss : Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LkiS
Suasana Pagi jam 08.00 di sepanjang Gapura Pecinan dan Jalan Gang Warung

Deretan ruko di Jalan Gang Warung yang masih tutup

Seorang pria tengah berdoa sebelum berkegiatan
Kegiatan ekonomi di sepanjang jalan Gang Warung (distribusi barang dan  jasa)
Pengamen yang beroperasi di sepanjang jalan Gang Baru
Transaksi antara penjual dan pembeli
Pedagang ikan segar di dalam Pasar Gang Baru

Pedagang hasil laut yang dikeringkan
Pedagang Tahu di Pasar Gang Baru
Potret Pasar Tradisional di Pasar Gang Baru

Kebiasaan membaca di pasar
Pedagang Cabai dan Bawang di salah satu sisi Pasar Gang Baru

GELIAT PERMUKIMAN PECINAN DI KOTA SEMARANG

in , , by nyakizza.blogspot.com, 14.00




Permukiman “pecinan” dipastikan  bisa ditemukan pada setiap kota-kota di Indonesia. Bahkan, pecinan kerap kali terlihat seperti sebuah  kota dalam kota. Edmund Scott pemimpin loji Inggris di Banten pada tahun 1603-1604, melukiskan kesannya pada daerah Pecinan di Jawa (Lombard, 1996, jilid 2:275 dalam Handinoto, 1999):
“Sejak  tiba di pelabuhan-pelabuhan pesisir, kita dengan mudah melihat kekhasan daerah Pecinan. Daerah pecinan seolah-olah  merupakan sebuah  kota di dalam kota. Letaknya di sebelah barat  kota dan dipisahkan oleh sebuah sungai.  Rumah-rumahnya  dibangun dengan pola bujur sangkar dan terbuat  dari bata. Wilayah  ini mempunyai pasar sendiri yang dicapai melalui sungai”.

Kawasan Pecinan  selain dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Cina, juga dihuni oleh warga pribumi atau etnis Jawa. Pecinan kerap dianggap sebagai “pusat perkembangan” sebab kawasan pecinan  merupakan kawasan perdagangan yang sangat ramai.
Emigrasi  orang Cina ke Jawa mulai terjadi secara besar-besaran  pada abad ke 14. Awal terjadinya pemukiman Cina di sepanjang  pantai Utara  Jawa tersebut sebagai akibat dari aktivitas  perdagangan antara India dan Cina melalui laut.  Perdagangan  lewat laut tersebut memanfaatkan angin musim Utara antara bulan Januari-Pebruari untuk pergi ke Selatan. Sementara angin musim  Selatan  antara bulan Juni-Agustus dimanfaatkan untuk kembali ke Utara. Selama periode badai  (Cylone) atau perubahan musim, para pedagang tinggal di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, disamping mereka menunggu rekan dagang dari daerah atau  negeri lainnya. Pedagang-pedagang Cina bermukim  di daerah yang disinggahinya dan ada pula yang menikah  dengan  penduduk  pribumi. Maka, proses akulturasi budaya terjadi pada masa  itu. Daerah yang ditinggali oleh pedagang Cina tersebut kemudian menjadi Entrepot (kota pelabuhan sebagai pusat dari tukar-menukar barang). Di Jawa, kota-kota tersebut  misalnya: Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Jepara, Lasem, Semarang,  Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa (Handinoto, 2010).
Salah  satu  daerah  permukiman Cina dengan jumlah  penduduk terbanyak di Jawa adalah di Semarang. Pecinan  Semarang merupakan bagian dari wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti) dan daerah pinggiran (periphery) yaitu daerah  yang berbatasan langsung dengan daerah inti dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan. Daerah  inti (core) merupakan  lokasi perkampungan Cina  lama, tempat bangsa Cina di Semarang ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Adapun batas-batas wilayah tersebut adalah sebagai berikut ;
·         Batas Utara                        : Jalan Gang Warung, Pekojan
·         Batas Selatan         : Kali Semarang
·         Batas Timur            : Kali Semarang
·         Batas Barat                        : Jalan Beteng dan Pedamaran
Jalan utamanya sekarang adalah :
·         Jalan Gang Pinggir yang merupakan penerusan dari Jalan Pekojan
·         Jalan Gang Warung yang menerus ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
·         Jalan Beteng yang sekaligus merupakan batas sebelah Barat kawasan Inti Pecinan sejak dulu.

Jalan-jalan  lain seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru, dan gang Cilik berada di kawasan ini. Di daerah  inilah dulu terdapat empat Benteng yang dibangun  untuk melindungi keamanan penduduk didalamnya. Banyaknya Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri mencolok dan sangat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun  wisatawan  asing. Hal  ini ditunjang dengan adanya sebutan yang menyatakan bahwa Semarang merupakan daerah “1001 Klenteng”.
Pertokoan di sepanjang jalan Gang Warung  akan buka pada siang hari sekitar jam sebelas dan rata-rata merupakan toko tekstil dan toko obat Cina maupun apotek. Jika diamati lebih lanjut, tata letak kawasan pecinan Semarang dapat dipetakan sebagai berikut;
a.       Jalan K.H. Wahid Hasyim :  Pertokoan tekstil dan emas (perhiasan)
b.      Jalan Pedamaran                 : Pedagang hasil bumi di Pasar Johar termasuk pemukiman kumuh di dalam gang-gang sempit yang dihuni penduduk pribumi.
c.       Jalan Gang Baru                 : Tempat penjualan hasil bumi (pasar tradisional pecinan)
d.      Jalan Gang Pinggir             : Perdagangan emas dan perhiasan serta warung makan.
e.          Jalan Gang Besen, Gang Belakang, Gang Gambiran: Pemukiman warga pecinan dan perkantoran.
f.          Jalan Gang Tengah                                         :   Pusat perkantoran Bank.
g.         Jalan Gang Pinggir dan Gang Baru           : Toko perlengkapan sembahyang dan pernak-pernik khas Cina.
h.      Gang Beteng, Gang Warung, Gang Pinggir   : Pertokoan. Toko grosir, toko kelontong, dan toko.
 Di sepanjang Gang Warung pada pagi hari sekitar pukul delapan  memang tidak tampak adanya  pertokoan yang sudah  buka. Tetapi, jalan utama pecinan ini tampak ramai oleh lalu-lalang  kendaraan  bermotor, becak, dan  sepeda onthel.  Lahan  depan  pertokoan dijadikan  lahan  parkir untuk mobil dan  sepeda  motor juga becak-becak. Ketika berdiri di depan gapura pecinan  Semarang, yang tampak hanyalah sebuah warung  makan tenda di kanan dan kiri jalan serta tukang pangkas rambut yang sudah  mulai beraktivitas.  Namun,  jika dilihat lebih jauh, ada salah satu  gang sempit yang  sangat padat pengunjung pada setiap paginya, yaitu Gang Baru.

Gang Baru yang hanya sebuah lorong sempit, sepi dan  menyeram kan  pada malam  hari, mendadak  berubah  menjadi  tempat yang sangat ramai. Hal ini dikarenakan warga pecinan menjadikan  gang tersebut sebagai lahan  dagang atau pasar tradisional pecinan. Setiap pukul empat dini hari, para pedagang mulai membuka  lapak mereka dan menata barang dagangan.

Pedagang di pasar tradisional Gang Baru ini, tidak hanya berasal dari etnis Cina, melainkan  juga dari etnis Jawa dan Melayu. Salah satu aspek yang  mutlak dalam interaksi sosial adalah  bahasa yang digunakan  sebagai alat untuk menyampaikan pesan dan makna. Di Pasar Gang Baru ini, baik antara pedagang dengan pedagang, maupun  pedagang dengan pembeli, sering terdengar berkomunikasi dalam  bahasa Jawa dan Bahasa Mandarin (Tionghoa). Etnis Cina akan lebih sering berbahasa Tionghoa dengan sesamanya. Sementara itu, orang yang berasal dari etnis lain tidak mampu berbahasa Tionghoa, sehingga mereka menggunakan bahasa Jawa. Sebaliknya, mayoritas etnis Tionghoa lancar berbahasa Jawa dengan dialek aksen Mandarin.

KAMPUS MERAH FIS SMART

in , , , , by nyakizza.blogspot.com, 22.45





in , , by nyakizza.blogspot.com, 22.33
Curug Sewu - Kabupaten Kendal di Musim Kemarau
memory 15 September 2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Sepanjang hidupnya, manusia selalu belajar dan melakukan perubahan-perubahan  sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan (adaptasi). Hal ini adalah sesuatu yang wajar sebab semua masyarakat/kebudayaan mempunyai dinamika (berubah). Masyarakat terus berkembang seiring berkembangnya zaman. Perubahan-perubahan tersebut terjadi baik secara individu maupun berkelompok. Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk di suatu desa. Pertambahan penduduk akan menyebabkan perubahan pada tempat tinggal. Tempat tinggal yang semula terpusat pada lingkungan kerabat akan berubah atau terpancar karena suatu faktor pendorong adanya perubahan tersebut.
Perubahan memang terikat waktu dan tempat. Akan tetapi, karena sifatnya yang berantai, perubahan itu tampaknya terjadi secara terus-menerus walau diselingi dimana keadaan masyarakat mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena perubahan. Dinamika masyarakat tersebut terjadi karena adanya Interaksi sosial. Interaksi sosial terjadi karena adanya kontak sosial dan komunikasi. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang-orang perorang, antar kelompok manusia, maupun antar orang perorang dengan kelompok manusia yang menghasilkan hubungan timbal balik.
Salah satu bukti nyata perubahan sosial tampak pada perubahan pola permukiman masyarakat. Contohnya saja yang terjadi di Kota Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada zaman dahulu pola permukiman warga Pangkalan Bun masih bersifat homogen (hanya tinggal satu lingkungan dengan orang-orang satu suku) permukiman yang bersifat homogen dan tempat tinggal yang disekeliling keluarga serumpun dapat mempermudah interaksi atau komunikasi sehubungan dengan belum adanya komunikasi yang canggih. Namun seiring berjalannya waktu, sekarang ini warga Pangkalan Bun sudah membaur dan bersifat heterogen yang tidak harus berkumpul dengan kerabat serumpunnya sehubungan dengan alat komunikasi yang sudah canggih.
Makalah ini membahas tentang pola permukiman masyarakat Pangkalan Bun. Perubahan pola permukiman  ditinjau dari sudut pandang perubahan sosial budaya sebagai salah satu bidang kajian sosiologi.
1.2       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pola permukiman masyarakat Pangkalan Bun pada zaman dahulu ?
2.      Bagaimana pola permukiman masyarakat Pangkalan Bun sekarang ?
3.      Apa faktor yang melatarbelakangi pembentukan pola permukiman tersebut ?
4.      Mengapa terjadi perubahan pola permukiman masyarakat di Pangkalan Bun ?




BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1       Definisi Perubahan Sosial
Para sosiolog mencoba mendefinisikan, merumuskan prinsip-prinsip atau hukum-hukum perubahan sosial. Banyak pengertian yang menjelaskan tentang bagaimana perubahan sosial tersebut terjadi dalam masyarakat. Hal demikian disebabkan karena tiap-tiap masyarakat mempunyai kondisi lingkungan sosial budaya dan alam yang berbeda. Berikut adalah beberapa pengertian dari perubahan sosial menurut para ahli.
a. Gillin and Gillin
Menurut J.L Gillin dan J.P Gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima, yang disebabkan oleh perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideology, maupun karena adanya difusi dan penemuan baru dalam masyarakat tersebut.
b. Max Weber
Berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan situasi dalam masyarakat sebagai akibat adanya ketidaksesuaian unsur-unsur (dalam buku Sociological Writings).
c. W. Kornblum
Berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan suatu budaya masyarakat secara bertahap dalam jangka waktu lama
d.   Selo Soemardjan
Selo Soemardjan mengatakan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya. Termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut.
e. Kingsley Davis
Davis mengartikan perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
f. Robert Mac Iver
Dalam bukunya “A Textbook of Society” Iver  mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan sosial (social relationship) atau perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.
g. William F. Ogburn
William menyatakan bahwa perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material atau non material.
h. Ritzer, et.al (1987: 560) dalam Piotr Sztompka
Perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antarindividu,kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu.

SISTEM KEKERABATAN SUKU BALI

in , by nyakizza.blogspot.com, 22.16

SISTEM KEKERABATAN SUKU BALI

photo by : kanjeng izza


Keunikan Bali bisa dilihat melalui bagaimana manusia Bali melakukan pembinaan kekerabatan secara lahir dan batin. Orang Bali begitu taat untuk tetap ingat darimana dirinya berasal. Hal inilah kemudian melahirkan berbagai golongan di masyarakatnya yang kini dikenal dengan wangsa atau soroh. Begitu banyak soroh yang berkembang di Bali dan mereka memiliki tempat pemujaan keluarga secara tersendiri. Tatanan masyarakat berdasarkan soroh ini begitu kuat menyelimuti aktivitas kehidupan manusia Bali. Mereka tetap mempertahankan untuk melestarikan silsilah yang mereka miliki. Mereka dengan seksama dan teliti tetap menyimpan berbagai prasasti yang didalamnya berisi bagaimana silsilah sebuah keluarga Bali. Beberapa soroh yang selama ini dikenal misalnya Warga Pande, Sangging, Bhujangga Wesnawa, Pasek, Dalem Tarukan, Tegeh Kori, Pulasari, Arya, Brahmana Wangsa, Bali Aga dan lainnya. Semuanya memiliki sejarah turun-temurun yang berbeda. Meski begitu, akhirnya mereka bertemu dalam siklus keturunan yang disebut Hyang Pasupati. Begitu unik dan menarik memahami kehidupan orang Bali dalam kaitan mempertahankan garis leluhurnya. Sebagian kehidupan ritual mereka juga diabdikan untuk kepentingan pemujaan terhadap leluhur mereka.

Suku bangsa Bali merupakan kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan budayanya, kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran tersebut, namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi serta perbedaan setempat. Agama Hindhu yang telah lama terintegrasikan ke dalam masyarakat Bali, dirasakan juga sebagai unsur yang memperkuat adanya kesadaran kesatuan tersebut. Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindhu di berbagai daerah di Bali dalam jaman Majapahit dulu, menyebabkan ada dua bentuk masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali - Aga dan masyarakat Bali Majapahit. Masyarakat Bali Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa - Hindhu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga was, di Kabupaten Buleleng dan desa tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang pada umumnya diam didaerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk Bali.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa Indonesia, bahasa Bali tak jauh berbeda dari bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan prasasti zaman kuno menunjukkan adanya suatu bahasa Bali kuno yang berbeda dari bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali kuno tersebut disamping banyak mengandung bahsa Sansekrta, pada masa kemudiannya juga terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari jaman Majapahit ialah jaman waktu pengaruh Jawa besar sekali kepada kebudayaan Bali. Bahasa Bali mengenal juga apa yang disebut "perbendaharaan kata-kata hormat", walaupun tidak sebanyak perbendaharaan dalam bahasa Jawa. Bahasa hormat (bahasa halus) dipakai kalau berbicara dengan orang-orang tua atau tinggi. Di Bali juga berkembang kesusasteraan lisan dan tertulis baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Disamping itu sampai saat ini di bali didapati juga sejumlah hasil kesusasteraan Jawa Kuno (kawi) dalam bentuk prosa maupun puisi yang dibawa ke Bali ketika Bali di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.
© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting