Pengantar…
Pagi hari ini,
saya terbangun dari tidur dalam kondisi tubuh yang agak memprihatinkan.
Semalaman saya terjaga untuk mengerjakan abstraksi penelitian yang akan saya
ajukan pada seleksi penelitian antropologi. Matahari belum juga tampak jelas di
ufuk. Saya ingin kembali tertidur, namun sulit sekali.
Saya memandang
ke sekeliling kamar. Mata saya terhenti pada buku “Sosiologi dengan Pendekatan
Membumi Jilid I dan II” karya James M. Henslin. Saya mengambil buku Jilid II
dan membuka-buka halaman demi halaman.
Buku Sosiologi Membumi ini merupakan buku kesukaan saya karena isinya
sangat mudah dipahami dan atraktif, sangat cocok untuk pembelajar tipe
audio-visual seperti saya.
Semua materi
sangat menarik, factual dan rasional. Saya terhenti begitu lama pada halaman 141
sampai dengan halaman 144. Pada halaman tersebut membahas tentang “dua sisi
kehidupan keluarga” yang didalamnya terdapat sub-sub tema seperti “sisi gelap kehidupan
keluarga: penganiayaan, kekerasan terhadap anak, dan hubungan sedarah”, “sisi
cerah kehidupan keluarga: pernikahan yang berhasil”, dan “masa depan pernikahan
dan keluarga”. Secara keseluruhan, saya mempunyai ketertarikan yang kuat
terhadap apapun tentang kehidupan keluarga, peran istri dan pengasuhan anak.
Saya bukan seorang feminis ataupun penggiat kesetaraan gender. Berdasarkan rasa
suka, tertarik dan keinginan untuk menjadi seorang ibu (guru) yang baik, yang
ideal bagi anak-anak saya kelak saya mencoba mempelajari, memahami dan
merefleksikan pengetahuan berkaitan dengan “keluarga”.
Imajinasi Saya tentang Cinta dan Pernikahan…
Saya memang
belum pernah melakukan studi mendalam kepada korban kekerasan dalam ikatan
keluarga. Pendapat-pendapat yang saya kemukakan berikut merupakan imajinasi
saya ketika mendengar cerita-cerita dari beberapa teman saya mengenai praktik
kekerasan yang terjadi pada tetangga di desanya. Selain imajinasi, saya pun
akan mengaitkan kasus tersebut dengan pandangan yang dikemukakan sosiolog.
Saya percaya,
suatu pernikahan itu tidak murni berlandaskan cinta semata. Pernikahan juga
dibangun karena adanya dorongan dari anjuran agama, dorongan secara sosial dan
kebudayaan serta dorongan biologis dari dalam diri individu. Oleh sebab itu,
saya senang berpendapat jika cinta itu tidak buta. Cinta tidak membabi buta,
menenggelamkan diri dalam kehendak-kehendak dan perilaku irrasional. Cinta
tidak datang pada seseorang secara tiba-tiba, seolah dewa asmara melesatkan
anak panahnya ke sembarang arah, acak. Jika memang deikian, maka pola-pola
pernikahan tidak dapat diramalkan. Studi tentang siapa menikah dengan siapa
mengungkapkan bahwa cinta disalurkan secara sosial.
Saluran sosial
cinta yang paling mudah diperhatikan adalah melalui saluran pendidikan, usia,
kelas sosial (ras-etnis juga menjadi pertimbangan yang cukup berat). Contoh
riilnya adalah diri saya sendiri. Sebagai seorang perempuan yang bersekolah di
perguruan tinggi, tentu saya mengharapkan pasangan saya berasal dari kalangan
yang sama, seseorang yang bersekolah di perguruan tinggi juga atau telah lulus.
Saya pernah juga “diperolok” oleh teman saya yang dari Jawa seperti ini, “nek
aku nikah karo awakmu, piye carane nerbangke kebo ke tempatmu, hahaha, aku
‘pek-nggo’ wae lah”. Maksudnya, jika teman saya yang orang Jawa itu menikahi
saya, ia bingung bagaimana cara mengantarkan mahar kerbau-kerbau kepada saya
yang mukim di Pulau Kalimantan. Kemudian ia berkata bahwa ia lebih memilih pola
pernikahan ‘pek-nggo’ atau ‘ngepek tonggo’ yang artinya mengambil tetangga atau
orang terdekatnya untuk dijadikan istri.
Para sosiolog
menggunakan istilah homogamy untuk
menggambarkan kecenderungan orang untuk menikahi seseorang dengan cirri yang
sama. Homogami sebagian besar hasil dari keakraban atau kedekatan spasial.
Artinya kita cenderung “jatuh cinta” dan menikah dengan orang-orang yang hidup
di sekitar kita, di dekat kita atau yang kita kenal di sekolah, tempat kerja,
tempat ibadah (Henslin, 2007; 124). Ada pola-pola pernikahan yang dapat
dikonstruksikan dan berdasarkan pola-pola tersebut kita dapat meramalkan
bagaimana pola selanjutnya. Dalam hal ini, pola yang telah terbangun mapan dan
konsisten menunjukkan pada saya [kita] bahwa Cupid atau Eros putra Afrodit tidak membidik secara acak.
Lebih jauh, berdasarkan
hasil penelitian antropolog W. Jankowiak dan Edward Fischer (1992) mengemukakan
bahwa cinta romantis itu berasal
dari orang yang saling tertarik secara seksual dan mengidealkan satu sama lain.
Hasil eksperimen yang menakjubkan, psikolog Donald Dutton dan Arthur Aron
menemukan bahwa rasa takut dapat memupuk cinta (Rubin 1985; Henslin, 2007). Pada
intinya, cinta romantis biasanya diawali oleh daya tarik seksual, ketika telah
merasakannya, kita aan meluangkan waktu terhadap orang tersebut. Ketika kita
menemukan bahwa kita memiliki persamaan dengan orang tersebut, kita bisa saja
memberi label “cinta” pada perasaan tersebut. Terdapat dua komponen cinta
romantis, yaitu komponen emosional, suatu perasaan ketertarikan secara seksual
dan komponen kognitif, merujuk pada pe-label-an yang kita berikan tentang
perasaan kita, “jatuh cinta”.
Beberapa saat
lalu, saya pernah bercerita kepada salah satu dosen muda yang bijaksana tentang
perasaan aneh yang saya alami kepada seorang temannya. Kemudian ia berpendapat agar
saya menganalisis perasaan macam apa itu, apakah sekedar wujud kekaguman saya
atau benar-benar cinta. Sejak itu, saya selalu berhati-hati dalam menilai
perasaan saya sendiri. Perasaan memang harus dimanajemen dengan baik, agar
tidak lekas timbul rasa cinta yang salah hingga memunculkan rasa kekecewaan
mendalam.
Sebelum memilih
satu yang pasti, kita memang selalu akan melalui proses memilah yang panjang.
Perhatian saya tertuju pada wejangan
orang tua Jawa yang menganjurkan anaknya untuk memperhatikan tiga aspek
pasangan hidup yaitu bibit, bebet, lan
bobot kudu jelas. Kalau anak muda zaman sekarang ada istilah yang
mengungkapkan, “milih pasangan itu kayak milih sepatu, kadang kita cocok di
‘mata’, tapi gak cocok di kaki”. Terkadang memang kita memilih pasangan itu
karena kovernya menarik, cakep atau cantik, tetapi setelah dijalani banyak
ketidaksesuaian yg sifatnya krusial, namun tetap dipaksakan. Pada akhirnya,
diri juga yang menanggung beban, dan saya menilai hal ini tergolong kekerasan
terhadap perasaan.
Penganiayaan…
Se-maju,
se-global, se-canggih apapun masyarakat sekarang, praktik-praktik kekerasan
terhadap wanita dan anak-anak masih saja terjadi. Praktik-praktik kekerasan ini
umumnya dilanggengkan dalam cover pernikahan.
Seorang pria
yang telah mampu menikahi seorang wanita, dalam perspektif yang “salah kaprah”
menganggap bahwa mahar dan ijab-kabul sebagai alat pertukaran seperti halnya
dalam tindakan ekonomi jual-beli di pasar. Pria menganggap telah memiliki dan
menguasai wanita yang ia nikahi secara sepenuhnya. Saya pikir semua orang sudah
akrab dengan kata “kesetaraan gender”. Bocah sekolah dasar kelas lima yang
pernah saya tanya tentang makna hari Kartini menyebutkan “Ibu Kartini itu yang
bikin kesetaraan gender di Indonesia makanya kita bisa sekolah, kak”. Bahkan ibu-ibu
dusun Krajan di kaki Gunung Slamet, Pemalang, sudah fasih menyebutkan kata
“kesetaraan gender” yang ternyata selalu di dengung-dengungkan dalam ceramah
usai pengajian rutin.
Semua sudah
tahu, lalu? … namun belum semuanya sadar akan makna “kesetaraan gender” itu dan
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengamatan teman saya di
desanya, suatu desa di Kab. Kediri, ia masih menjumpai sejumlah tetangganya
yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga ini
dipandang sebagai implikasi dari adanya perselingkuhan, pengaruh alkohol
(mabuk) dan otoritas suami atas istri yang telah dinikahinya.
Fakta
mengejutkan yang saya dapatkan tentang pola distribusi kekerasan dalam rumah
tangga adalah kekerasan atau penganiayaan bermula dari seorang bapak yang
menganiaya istrinya. Istri yang mengalami tekanan batin dan tidak dapat
menyalurkan amarahnya pada sang suami justru melampiaskan kemarahan pada sang
anak. Kekerasan beruntun ini akan berlanjut pada kejiwaan anak yang menjadi
tempramen, suka berbuat kasar pada teman-teman sebayanya, menyiksa binatang,
dan terjerumus dalam kenakalan remaja. Ternyata tidak hanya sampai disitu,
trauma masa kecil yang kerap menyaksikan ibunya disiksa dan mengalami
penyiksaan akan diturunkan pada keluarganya kelak. Semacam menjadi regenerasi
budaya kekerasan. Sebenarnya ada beberapa perilaku yang bisa diprediksi, yaitu
antara anak akan menjadi penuh ketakutan, ketidakpercayaan terhadap hubungan
suami-istri, atau anak akan menjadi penentang tak terkontrol (pemberontak) atau
cenderung melakukan perilaku menyimpang (menjadi gay atau lesbian). Saya dan
kelompok saya sering mendiskusikan temuan-temuan kami mengenai kelompok gay dan
lesbian di warung kopi. Berdasarkan pengalaman salah satu informan, dengan
menjadi gay itu ia mengidentikkan dirinya sebagai sosok seorang ibu yang
mendapatkan cinta dari pasangannya (pasangan gay-nya).
Dilema Wanita
Teraniaya…
Kembali membahas
soal wanita yang mengalami penganiayaan oleh suaminya. Sempat terpikirkan oleh
saya, mengapa mereka tidak pergi saja, lari saja yang jauh atau melaporkan
tindakan semena-mena suaminya pada pihak berwajib?. Pertanyaan-pertanyaan
bernada geram itu mungkin sudah banyak dipikirkan dan dilontarkan orang-orang.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para wanita yang mengalami
penganiayaan cenderung memilih untuk diam seribu bahasa, menutup-nutupi
tindakan penganiayaan tersebut karena
kekerasan dalam rumah tangga dianggap hal yang tabu untuk diketahui masyarakat.
Para wanita ini pun tidak pernah bercerita pada keluarganya, dengan alasan tabu
untuk diceritakan dan merasa bahwa “bebanku cukup aku yang menanggungnya”.
Mereka menghindari, sangat menghindari keterbukaan atas kesakitan yang mereka
rasakan karena tidak ingin membuat orang tua maupun sanak keluarga berpikir
keras untuk mereka dan menimbulkan keributan.
Selanjutnya,
kita tentu sepakat bertanya, “mengapa masih bertahan dengan suami yang seperti
itu?”. Saya sebagai seorang perempuan muda yang belum pernah menikah kerap berpikir
praktis. Gampangannya, ketika saya ditindas, saya akan melawan. Kalau saya
disakiti, saya akan pergi atau melaporakannya pada polisi. Gampang, bukan?
Kesalahan saya
adalah, saya luput mempertimbangkan satu hal penting dalam kehidupan seorang
wanita yang telah menikah, yaitu anak.
Wanita cenderung tetap bertahan bersama pasangan mereka meskipun dianiaya. Seorang
ibu, tidak lagi memposisikan dirinya sebagai “I”, namun mereka akan selalu
memposisikan dirinya sebagai “Me” jika ditinjau dari perspektif Mead. Dimana
“I” mengesankan suatu peluang yang besar untuk kebebasan dan spontanitas, serta
citra diri (self image). Sementara itu, “Me” lebih menunjukkan diri yang
terpengaruh oleh status dan peranan sosialnya. Sosok wanita yang memiliki anak
(ibu), secara serta-merta akan mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang yang
tidak berdiri sendiri (bukan “I”).
Prof. Tri
Marheni saat kuliah tentang gender pernah membahas sedikit tentang hasil
penelitiannya tentang studi gender. Ketika seorang bapak dan ibu diberikan
kuesioner dengan perintah: “deskripsikan diri anda dalam satu paragraf!” maka ditemukan fakta yang berbeda dan sangat
menarik, berikut jawaban dari bapak dan ibu tersebut;
Bapak: “saya
seorang karyawan di kantor XXX, berusia 30 tahun. Saya menjabat sebagai staff
administrasi. Hobi saya menonton pertandingan sepak bola dan saya bagus di
bidang sepak bola. Saya mempunyai sebuah rumah di Komplek XXX Semarang. Saya
telah menikah dan memiliki dua anak. Dst…”
Ibu: “nama saya
XXX, saya telah menikah dan memiliki tiga orang anak. Suami saya bekerja di
kantor XXX, sementara saya bekerja sebagai tenaga pengajar di sekolah XXX dan
ketiga anak saya sedang duduk di bangku sekolah. Saya tinggal di Perumahan XXX.
Usai mengajar di sekolah, saya pulang dan memasak untuk suami dan anak-anak
saya… dst”
Bagaimana? Sudah
jelas bukan perbedaannya? J
Kembali membahas
wanita yang dianiaya suaminya, saya berusaha merumuskan beberapa faktor yang
menyebabkan wanita itu bertahan dalam kondisi teraniaya, mungkin yang pertama
karena mereka tidak memiliki pekerjaan yang bisa membebaskan diri mereka dari
ketergantungan terhadap pemasukan dari suami. Yang kedua, karena memiliki
anak-anak. Yang ketiga karena agama tidak menganjurkan adanya perceraian. Yang
keempat, menyandang status “janda”, “single parent” tentunya akan terasa sangat
berat juga melanggar nilai tradisional.
Sosiolog Ann
Goething (2001; dalam Henslin, 2007) dari hasil wawancara mendalam yang ia
lakukan kepada korban KDRT yang berhasil memisahkan diri atau memutuskan hubungan
dari pasanganny. Ia ingin mengetahui apa yang dapat memisahkan mereka. Ia
menemukan bahwa;
1.
Mereka memiliki konsep diri positif. Singkatnya,
mereka percaya bahwa mereka patut diperlakukan jauh lebih baik dari pada
perlakuan yang selama ini mereka terima.
2.
Mereka berani melangar nilai tradisional. Mereka
tidak percaya bahwa seorang istri harus tetap bertahan tinggal bersama suaminya
apapun yang terjadi. Disini mereka mulai menyadari hak mereka untuk hidup
terbebas dari tekanan.
3.
Mereka memiliki dana yang memadai. Bagi beberapa
orang, hal ini terasa mudah, namun bagi orang lain tidak. Untuk mengumpulkan
uang yang cukup untuk pindah, beberapa orang perempuan menabung selama
bertahun-tahun, menyisihkan uang sedikit demi sedikit tiap minggu.
4.
Mereka mempunyai keluarga dan teman yang
mendukung. Suatu jaringan pendukung berperan sebagai sumber dorongan untuk
membantu mereja menyelamatkan diri mereka.
Keempat temuan ini tidaklah mutlak terjadi
di dalam masyrakat. Arti penting keempatnya pun dapat berbeda antara wanita
satu dengan yang lainnya. Beberapa orang mungkin menganggap ketiadaan dana
merupakan merupakan hal yang terpenting, sedangkan bagi yang lain, faktor
terpentingnya ialah minimnya konsep diri positif. Bagi semua orang, jaringan
pendukung (atau kelangkaannya) memiliki peran yang signifikan.
Pada bagian akhir cerita saya ini, saya
akan berbagi kata-kata yang membuat saya berpikir,
“jika suatu ketika engkau jatuh hati
anakku, jangan pernah dia tahu persis perasaanmu… Pandai-pandailah menjaga diri
dan hati, karena itu adalah inti dari segala kemuliaan dan kehormatan diri.”
Maknanya adalah kita diajak untuk menghemat rasa dan menghargai proses-proses.
Slogan “Let it Flow” bisa dipakai.
Bagaimana kita mengupayakan diri terhindar
dari kemungkinan-kemungkinan terburuk ketika kita telah terikat dalam hubungan
pernikahan. Mungkin caranya adalah dengan mempersiapkan diri lebih baik, yang
pasti kematangan emosional dan mengetahui calon pasangan kita minimal bibit, bebet, bobot-nya seperti para
orang tua Jawa bilang.
WALLAHU’ALAM BISHAWAB
Sumber :
Henslin, James M. 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Edisi 6
Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga
---------------------. 2007. Sosiologi dengan pendekatan Membumi Edisi 6
Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga
***Mohon maaf bila ada kesalahan
penafsiran yang murni saya buat. Saya tidak menutup diri untuk berdiskusi,
silakan komentari tulisan ini sebagai perbaikan atas kesalahan-kesalahan saya.
Apabila ada pendapat lain dari anda,
silakan di share pada kolom komentar agar kedepannya saya memilki sudut pandang
yang jauh lebih baik.
Semangat belajatr dan berkarya J
Salam,
Alfisyahr Izzati

Ya allah jangan sampe menjadi korban kekerasan
BalasHapus