Dilema Wanita Teraniaya: Bertahan atau Meninggalkan

in , by nyakizza.blogspot.com, 16.18

Pengantar…

Pagi hari ini, saya terbangun dari tidur dalam kondisi tubuh yang agak memprihatinkan. Semalaman saya terjaga untuk mengerjakan abstraksi penelitian yang akan saya ajukan pada seleksi penelitian antropologi. Matahari belum juga tampak jelas di ufuk. Saya ingin kembali tertidur, namun sulit sekali.

Saya memandang ke sekeliling kamar. Mata saya terhenti pada buku “Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Jilid I dan II” karya James M. Henslin. Saya mengambil buku Jilid II dan membuka-buka halaman demi halaman.  Buku Sosiologi Membumi ini merupakan buku kesukaan saya karena isinya sangat mudah dipahami dan atraktif, sangat cocok untuk pembelajar tipe audio-visual seperti saya.

Semua materi sangat menarik, factual dan rasional. Saya terhenti begitu lama pada halaman 141 sampai dengan halaman 144. Pada halaman tersebut membahas tentang “dua sisi kehidupan keluarga” yang didalamnya terdapat sub-sub tema seperti “sisi gelap kehidupan keluarga: penganiayaan, kekerasan terhadap anak, dan hubungan sedarah”, “sisi cerah kehidupan keluarga: pernikahan yang berhasil”, dan “masa depan pernikahan dan keluarga”. Secara keseluruhan, saya mempunyai ketertarikan yang kuat terhadap apapun tentang kehidupan keluarga, peran istri dan pengasuhan anak. Saya bukan seorang feminis ataupun penggiat kesetaraan gender. Berdasarkan rasa suka, tertarik dan keinginan untuk menjadi seorang ibu (guru) yang baik, yang ideal bagi anak-anak saya kelak saya mencoba mempelajari, memahami dan merefleksikan pengetahuan berkaitan dengan “keluarga”.

 Imajinasi Saya tentang Cinta dan Pernikahan…

Saya memang belum pernah melakukan studi mendalam kepada korban kekerasan dalam ikatan keluarga. Pendapat-pendapat yang saya kemukakan berikut merupakan imajinasi saya ketika mendengar cerita-cerita dari beberapa teman saya mengenai praktik kekerasan yang terjadi pada tetangga di desanya. Selain imajinasi, saya pun akan mengaitkan kasus tersebut dengan pandangan yang dikemukakan sosiolog.

Saya percaya, suatu pernikahan itu tidak murni berlandaskan cinta semata. Pernikahan juga dibangun karena adanya dorongan dari anjuran agama, dorongan secara sosial dan kebudayaan serta dorongan biologis dari dalam diri individu. Oleh sebab itu, saya senang berpendapat jika cinta itu tidak buta. Cinta tidak membabi buta, menenggelamkan diri dalam kehendak-kehendak dan perilaku irrasional. Cinta tidak datang pada seseorang secara tiba-tiba, seolah dewa asmara melesatkan anak panahnya ke sembarang arah, acak. Jika memang deikian, maka pola-pola pernikahan tidak dapat diramalkan. Studi tentang siapa menikah dengan siapa mengungkapkan bahwa cinta disalurkan secara sosial.

Saluran sosial cinta yang paling mudah diperhatikan adalah melalui saluran pendidikan, usia, kelas sosial (ras-etnis juga menjadi pertimbangan yang cukup berat). Contoh riilnya adalah diri saya sendiri. Sebagai seorang perempuan yang bersekolah di perguruan tinggi, tentu saya mengharapkan pasangan saya berasal dari kalangan yang sama, seseorang yang bersekolah di perguruan tinggi juga atau telah lulus. Saya pernah juga “diperolok” oleh teman saya yang dari Jawa seperti ini, “nek aku nikah karo awakmu, piye carane nerbangke kebo ke tempatmu, hahaha, aku ‘pek-nggo’ wae lah”. Maksudnya, jika teman saya yang orang Jawa itu menikahi saya, ia bingung bagaimana cara mengantarkan mahar kerbau-kerbau kepada saya yang mukim di Pulau Kalimantan. Kemudian ia berkata bahwa ia lebih memilih pola pernikahan ‘pek-nggo’ atau ‘ngepek tonggo’ yang artinya mengambil tetangga atau orang terdekatnya untuk dijadikan istri.

Para sosiolog menggunakan istilah homogamy untuk menggambarkan kecenderungan orang untuk menikahi seseorang dengan cirri yang sama. Homogami sebagian besar hasil dari keakraban atau kedekatan spasial. Artinya kita cenderung “jatuh cinta” dan menikah dengan orang-orang yang hidup di sekitar kita, di dekat kita atau yang kita kenal di sekolah, tempat kerja, tempat ibadah (Henslin, 2007; 124). Ada pola-pola pernikahan yang dapat dikonstruksikan dan berdasarkan pola-pola tersebut kita dapat meramalkan bagaimana pola selanjutnya. Dalam hal ini, pola yang telah terbangun mapan dan konsisten menunjukkan pada saya [kita] bahwa Cupid atau Eros putra Afrodit tidak membidik secara acak.
Lebih jauh, berdasarkan hasil penelitian antropolog W. Jankowiak dan Edward Fischer (1992) mengemukakan bahwa cinta romantis itu berasal dari orang yang saling tertarik secara seksual dan mengidealkan satu sama lain. Hasil eksperimen yang menakjubkan, psikolog Donald Dutton dan Arthur Aron menemukan bahwa rasa takut dapat memupuk cinta (Rubin 1985; Henslin, 2007). Pada intinya, cinta romantis biasanya diawali oleh daya tarik seksual, ketika telah merasakannya, kita aan meluangkan waktu terhadap orang tersebut. Ketika kita menemukan bahwa kita memiliki persamaan dengan orang tersebut, kita bisa saja memberi label “cinta” pada perasaan tersebut. Terdapat dua komponen cinta romantis, yaitu komponen emosional, suatu perasaan ketertarikan secara seksual dan komponen kognitif, merujuk pada pe-label-an yang kita berikan tentang perasaan kita, “jatuh cinta”.

Beberapa saat lalu, saya pernah bercerita kepada salah satu dosen muda yang bijaksana tentang perasaan aneh yang saya alami kepada seorang temannya. Kemudian ia berpendapat agar saya menganalisis perasaan macam apa itu, apakah sekedar wujud kekaguman saya atau benar-benar cinta. Sejak itu, saya selalu berhati-hati dalam menilai perasaan saya sendiri. Perasaan memang harus dimanajemen dengan baik, agar tidak lekas timbul rasa cinta yang salah hingga memunculkan rasa kekecewaan mendalam.

Sebelum memilih satu yang pasti, kita memang selalu akan melalui proses memilah yang panjang. Perhatian saya tertuju pada wejangan orang tua Jawa yang menganjurkan anaknya untuk memperhatikan tiga aspek pasangan hidup yaitu bibit, bebet, lan bobot kudu jelas. Kalau anak muda zaman sekarang ada istilah yang mengungkapkan, “milih pasangan itu kayak milih sepatu, kadang kita cocok di ‘mata’, tapi gak cocok di kaki”. Terkadang memang kita memilih pasangan itu karena kovernya menarik, cakep atau cantik, tetapi setelah dijalani banyak ketidaksesuaian yg sifatnya krusial, namun tetap dipaksakan. Pada akhirnya, diri juga yang menanggung beban, dan saya menilai hal ini tergolong kekerasan terhadap perasaan.

Penganiayaan…

Se-maju, se-global, se-canggih apapun masyarakat sekarang, praktik-praktik kekerasan terhadap wanita dan anak-anak masih saja terjadi. Praktik-praktik kekerasan ini umumnya dilanggengkan dalam cover pernikahan.
Seorang pria yang telah mampu menikahi seorang wanita, dalam perspektif yang “salah kaprah” menganggap bahwa mahar dan ijab-kabul sebagai alat pertukaran seperti halnya dalam tindakan ekonomi jual-beli di pasar. Pria menganggap telah memiliki dan menguasai wanita yang ia nikahi secara sepenuhnya. Saya pikir semua orang sudah akrab dengan kata “kesetaraan gender”. Bocah sekolah dasar kelas lima yang pernah saya tanya tentang makna hari Kartini menyebutkan “Ibu Kartini itu yang bikin kesetaraan gender di Indonesia makanya kita bisa sekolah, kak”. Bahkan ibu-ibu dusun Krajan di kaki Gunung Slamet, Pemalang, sudah fasih menyebutkan kata “kesetaraan gender” yang ternyata selalu di dengung-dengungkan dalam ceramah usai pengajian rutin.

Semua sudah tahu, lalu? … namun belum semuanya sadar akan makna “kesetaraan gender” itu dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengamatan teman saya di desanya, suatu desa di Kab. Kediri, ia masih menjumpai sejumlah tetangganya yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga ini dipandang sebagai implikasi dari adanya perselingkuhan, pengaruh alkohol (mabuk) dan otoritas suami atas istri yang telah dinikahinya.

Fakta mengejutkan yang saya dapatkan tentang pola distribusi kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan atau penganiayaan bermula dari seorang bapak yang menganiaya istrinya. Istri yang mengalami tekanan batin dan tidak dapat menyalurkan amarahnya pada sang suami justru melampiaskan kemarahan pada sang anak. Kekerasan beruntun ini akan berlanjut pada kejiwaan anak yang menjadi tempramen, suka berbuat kasar pada teman-teman sebayanya, menyiksa binatang, dan terjerumus dalam kenakalan remaja. Ternyata tidak hanya sampai disitu, trauma masa kecil yang kerap menyaksikan ibunya disiksa dan mengalami penyiksaan akan diturunkan pada keluarganya kelak. Semacam menjadi regenerasi budaya kekerasan. Sebenarnya ada beberapa perilaku yang bisa diprediksi, yaitu antara anak akan menjadi penuh ketakutan, ketidakpercayaan terhadap hubungan suami-istri, atau anak akan menjadi penentang tak terkontrol (pemberontak) atau cenderung melakukan perilaku menyimpang (menjadi gay atau lesbian). Saya dan kelompok saya sering mendiskusikan temuan-temuan kami mengenai kelompok gay dan lesbian di warung kopi. Berdasarkan pengalaman salah satu informan, dengan menjadi gay itu ia mengidentikkan dirinya sebagai sosok seorang ibu yang mendapatkan cinta dari pasangannya (pasangan gay-nya).

Dilema Wanita Teraniaya…

Kembali membahas soal wanita yang mengalami penganiayaan oleh suaminya. Sempat terpikirkan oleh saya, mengapa mereka tidak pergi saja, lari saja yang jauh atau melaporkan tindakan semena-mena suaminya pada pihak berwajib?. Pertanyaan-pertanyaan bernada geram itu mungkin sudah banyak dipikirkan dan dilontarkan orang-orang. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para wanita yang mengalami penganiayaan cenderung memilih untuk diam seribu bahasa, menutup-nutupi tindakan penganiayaan tersebut  karena kekerasan dalam rumah tangga dianggap hal yang tabu untuk diketahui masyarakat. Para wanita ini pun tidak pernah bercerita pada keluarganya, dengan alasan tabu untuk diceritakan dan merasa bahwa “bebanku cukup aku yang menanggungnya”. Mereka menghindari, sangat menghindari keterbukaan atas kesakitan yang mereka rasakan karena tidak ingin membuat orang tua maupun sanak keluarga berpikir keras untuk mereka dan menimbulkan keributan.

Selanjutnya, kita tentu sepakat bertanya, “mengapa masih bertahan dengan suami yang seperti itu?”. Saya sebagai seorang perempuan muda yang belum pernah menikah kerap berpikir praktis. Gampangannya, ketika saya ditindas, saya akan melawan. Kalau saya disakiti, saya akan pergi atau melaporakannya pada polisi. Gampang, bukan?

Kesalahan saya adalah, saya luput mempertimbangkan satu hal penting dalam kehidupan seorang wanita yang telah menikah, yaitu anak. Wanita cenderung tetap bertahan bersama pasangan mereka meskipun dianiaya. Seorang ibu, tidak lagi memposisikan dirinya sebagai “I”, namun mereka akan selalu memposisikan dirinya sebagai “Me” jika ditinjau dari perspektif Mead. Dimana “I” mengesankan suatu peluang yang besar untuk kebebasan dan spontanitas, serta citra diri (self image). Sementara itu, “Me” lebih menunjukkan diri yang terpengaruh oleh status dan peranan sosialnya. Sosok wanita yang memiliki anak (ibu), secara serta-merta akan mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang yang tidak berdiri sendiri (bukan “I”).

Prof. Tri Marheni saat kuliah tentang gender pernah membahas sedikit tentang hasil penelitiannya tentang studi gender. Ketika seorang bapak dan ibu diberikan kuesioner dengan perintah: “deskripsikan diri anda dalam satu paragraf!”  maka ditemukan fakta yang berbeda dan sangat menarik, berikut jawaban dari bapak dan ibu tersebut;

Bapak: “saya seorang karyawan di kantor XXX, berusia 30 tahun. Saya menjabat sebagai staff administrasi. Hobi saya menonton pertandingan sepak bola dan saya bagus di bidang sepak bola. Saya mempunyai sebuah rumah di Komplek XXX Semarang. Saya telah menikah dan memiliki dua anak. Dst…”

Ibu: “nama saya XXX, saya telah menikah dan memiliki tiga orang anak. Suami saya bekerja di kantor XXX, sementara saya bekerja sebagai tenaga pengajar di sekolah XXX dan ketiga anak saya sedang duduk di bangku sekolah. Saya tinggal di Perumahan XXX. Usai mengajar di sekolah, saya pulang dan memasak untuk suami dan anak-anak saya… dst”
Bagaimana? Sudah jelas bukan perbedaannya? J

Kembali membahas wanita yang dianiaya suaminya, saya berusaha merumuskan beberapa faktor yang menyebabkan wanita itu bertahan dalam kondisi teraniaya, mungkin yang pertama karena mereka tidak memiliki pekerjaan yang bisa membebaskan diri mereka dari ketergantungan terhadap pemasukan dari suami. Yang kedua, karena memiliki anak-anak. Yang ketiga karena agama tidak menganjurkan adanya perceraian. Yang keempat, menyandang status “janda”, “single parent” tentunya akan terasa sangat berat juga melanggar nilai tradisional.

Sosiolog Ann Goething (2001; dalam Henslin, 2007) dari hasil wawancara mendalam yang ia lakukan kepada korban KDRT yang berhasil memisahkan diri atau memutuskan hubungan dari pasanganny. Ia ingin mengetahui apa yang dapat memisahkan mereka. Ia menemukan bahwa;

1.       Mereka memiliki konsep diri positif. Singkatnya, mereka percaya bahwa mereka patut diperlakukan jauh lebih baik dari pada perlakuan yang selama ini mereka terima.
2.       Mereka berani melangar nilai tradisional. Mereka tidak percaya bahwa seorang istri harus tetap bertahan tinggal bersama suaminya apapun yang terjadi. Disini mereka mulai menyadari hak mereka untuk hidup terbebas dari tekanan.
3.       Mereka memiliki dana yang memadai. Bagi beberapa orang, hal ini terasa mudah, namun bagi orang lain tidak. Untuk mengumpulkan uang yang cukup untuk pindah, beberapa orang perempuan menabung selama bertahun-tahun, menyisihkan uang sedikit demi sedikit tiap minggu.
4.       Mereka mempunyai keluarga dan teman yang mendukung. Suatu jaringan pendukung berperan sebagai sumber dorongan untuk membantu mereja menyelamatkan diri mereka.

Keempat temuan ini tidaklah mutlak terjadi di dalam masyrakat. Arti penting keempatnya pun dapat berbeda antara wanita satu dengan yang lainnya. Beberapa orang mungkin menganggap ketiadaan dana merupakan merupakan hal yang terpenting, sedangkan bagi yang lain, faktor terpentingnya ialah minimnya konsep diri positif. Bagi semua orang, jaringan pendukung (atau kelangkaannya) memiliki peran yang signifikan.

Pada bagian akhir cerita saya ini, saya akan berbagi kata-kata yang membuat saya berpikir,
“jika suatu ketika engkau jatuh hati anakku, jangan pernah dia tahu persis perasaanmu… Pandai-pandailah menjaga diri dan hati, karena itu adalah inti dari segala kemuliaan dan kehormatan diri.” Maknanya adalah kita diajak untuk menghemat rasa dan menghargai proses-proses. Slogan “Let it Flow” bisa dipakai.

Bagaimana kita mengupayakan diri terhindar dari kemungkinan-kemungkinan terburuk ketika kita telah terikat dalam hubungan pernikahan. Mungkin caranya adalah dengan mempersiapkan diri lebih baik, yang pasti kematangan emosional dan mengetahui calon pasangan kita minimal bibit, bebet, bobot-nya seperti para orang tua Jawa bilang.

WALLAHU’ALAM BISHAWAB






Sumber :
Henslin, James M. 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga
---------------------. 2007. Sosiologi dengan pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga

 Sumber foto : dgi-indonesia.com




***Mohon maaf bila ada kesalahan penafsiran yang murni saya buat. Saya tidak menutup diri untuk berdiskusi, silakan komentari tulisan ini sebagai perbaikan atas kesalahan-kesalahan saya.
Apabila ada pendapat lain dari anda, silakan di share pada kolom komentar agar kedepannya saya memilki sudut pandang yang jauh lebih baik.
Semangat belajatr dan berkarya J
Salam,
Alfisyahr Izzati



SHARE 1 comment

Add your comment

© Alfizza Murdiyono · Designed by Sahabat Hosting