Sugeng Siang,
Kulo ajeng carios sekedhik dumateng panjenengan sedoyo,
Kemarin siang, saat saya berkunjung di perpustakaan jurusan saya yaitu Sosiologi dan Antropologi, saya duduk di pojok ruangan dekat air conditioner. Ketika saya melihat-lihat kesekeliling tempat saya duduk, saya menemukan sebuah buku dengan sampul berwarna kuning dan bergambar abstrak yang berjudul "Dukun Jawa". Buku tersebut ditulis oleh seorang Doktor yang menggeluti bidang sastra Jawa dan telah banyak berkarya dalam bidang yang sastra, sejarah, buku-buku pelajaran sekolah, fisafat, dan cerita-cerita yang bersangkutan dengan epik yang berkembang luas dalam kehidupan masyarakat Jawa, yang bernama Dr. Purwadi, M. Hum.
Saya amat tertarik dengan isi buku tersebut yang memuat banyak hal mengenai praktik perdukunan di Jawa dan mantra-mantra berbahasa Jawa, juga wejangan-wejangan dukun yang senantiasa menjadi pertimbangan utama orang Jawa di dalam memutuskan suatu perkara yang sangat penting.
Kita sadari maupun tidak, kepercayaan orang Jawa kepada dukun begitu tinggi, karena kualitas kepribadiannya yang sudah putus ing reh saniskara. Dukun biasanya suka laku prihatin, cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan dan tidur, sehingga bisa menguasai kasar alusing rasa, unggah ungguhing basa, jugar genturing tapa. Sedapat mungkin dukun akanmenghindari keramaian duniawi. Dukun lantas sedhakep saluku juga, hamepes babahan hawa sanga yang berarti mengheningkan diri demi mencapai kebenaran sejati.
Mistik perdukunan Jawa sudah mengakar di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Baik mereka yang tinggal di perkotaan, pedesaan, atau pegunungan akrab sekali dengan dunia mistik.
Timbulnya ilmu perdukunan disebabkan karena sebagian besar orang Jawa butuh mencari hakikat alam semesta, intisari kehidupan dan hakikat Tuhan.
Sosiolog Selo Soemardjan (1974), berpendapat bahwa orang Jawa pada umumnya cenderung untuk mencari keselarasan dengan lingkungan dan hati nuraninya, yang sering dilakukan dengan cara-cara metafisik. Orang Jawa sering melakukan tapa brata dan tapa lelaku untuk mencapai kesempurnaan hidupnya.
Tapa brata dan tapa lelaku ini sering dilakukan oleh para penganut kebatinan kejawen. Gerakan-gerakan kebatinan yang jumlahnya demikian besar, merupakan suatu kesadaran akan budaya kejawen, dan bahwa "...at least part of the Abangan cultural awekaning has been brough about by the vehement pursuit of organized Islam to push its views and ways of life upon the syncretism nojority of the Javanese population." (Niels Mulder, 1975).
Kulo ajeng carios sekedhik dumateng panjenengan sedoyo,
Kemarin siang, saat saya berkunjung di perpustakaan jurusan saya yaitu Sosiologi dan Antropologi, saya duduk di pojok ruangan dekat air conditioner. Ketika saya melihat-lihat kesekeliling tempat saya duduk, saya menemukan sebuah buku dengan sampul berwarna kuning dan bergambar abstrak yang berjudul "Dukun Jawa". Buku tersebut ditulis oleh seorang Doktor yang menggeluti bidang sastra Jawa dan telah banyak berkarya dalam bidang yang sastra, sejarah, buku-buku pelajaran sekolah, fisafat, dan cerita-cerita yang bersangkutan dengan epik yang berkembang luas dalam kehidupan masyarakat Jawa, yang bernama Dr. Purwadi, M. Hum.
Saya amat tertarik dengan isi buku tersebut yang memuat banyak hal mengenai praktik perdukunan di Jawa dan mantra-mantra berbahasa Jawa, juga wejangan-wejangan dukun yang senantiasa menjadi pertimbangan utama orang Jawa di dalam memutuskan suatu perkara yang sangat penting.
Kita sadari maupun tidak, kepercayaan orang Jawa kepada dukun begitu tinggi, karena kualitas kepribadiannya yang sudah putus ing reh saniskara. Dukun biasanya suka laku prihatin, cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan dan tidur, sehingga bisa menguasai kasar alusing rasa, unggah ungguhing basa, jugar genturing tapa. Sedapat mungkin dukun akanmenghindari keramaian duniawi. Dukun lantas sedhakep saluku juga, hamepes babahan hawa sanga yang berarti mengheningkan diri demi mencapai kebenaran sejati.
Mistik perdukunan Jawa sudah mengakar di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Baik mereka yang tinggal di perkotaan, pedesaan, atau pegunungan akrab sekali dengan dunia mistik.
Timbulnya ilmu perdukunan disebabkan karena sebagian besar orang Jawa butuh mencari hakikat alam semesta, intisari kehidupan dan hakikat Tuhan.
Sosiolog Selo Soemardjan (1974), berpendapat bahwa orang Jawa pada umumnya cenderung untuk mencari keselarasan dengan lingkungan dan hati nuraninya, yang sering dilakukan dengan cara-cara metafisik. Orang Jawa sering melakukan tapa brata dan tapa lelaku untuk mencapai kesempurnaan hidupnya.
Tapa brata dan tapa lelaku ini sering dilakukan oleh para penganut kebatinan kejawen. Gerakan-gerakan kebatinan yang jumlahnya demikian besar, merupakan suatu kesadaran akan budaya kejawen, dan bahwa "...at least part of the Abangan cultural awekaning has been brough about by the vehement pursuit of organized Islam to push its views and ways of life upon the syncretism nojority of the Javanese population." (Niels Mulder, 1975).